Pages

Pramuka Harus Menatap ke Depan

Salah satu foto dalam Peringatan Hari Pramuka Ke-51 Tahun 2012.

Pramuka Harus Menatap ke Depan

Sebagai seorang pramuka, kita harus selalu menatap masa depan yang lebih cerah.

SBY Memakai Pakaian Pramuka

Sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, Bpk. SBY sangat sibuk, tetapi beliau mau menggunakan pakaian pramuka disela-sela HUT Pramuka.

Kamis, 27 Juni 2013

SAKSI BISU PEMBERONTAKAN PETANI CONDET

Engkong Thalib (65) bercerita dalam nada bangga. Sambil menunjuk reruntuhan gedung tua di pertigaan Condet, Jakarta Timur ia mengisahkan tentang sebuah perlawanan lama. Ya, lebih kurang 91 tahun lalu, di tempat yang dikenal sebagai Villa Nova itu, para petani Betawi menyabotase sebuah pesta yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Peristiwa itulah yang 4 hari kemudian memantik adu nyawa para petani pimpinan Haji Entong Gendut dengan para serdadu marsose Belanda dan centeng-centengnya di Batu Ampar.

 Laki-laki dengan 10 cucu itu bercerita, dari generasi ke generasi kisah perlawanan itu terus dipelihara. Biasanya cerita tersebut disampaikan oleh para engkong sebagai bukti,”Kite orang Betawi tidak bisa begitu aje diinjak-injak ame kumpeni,”ujar penduduk asli Kampung Gedong itu.

 Thalib memang tidak sekadar mendongeng. Sartono Kartodirjo dalam Protest Movements in Rural Java menyatakan pemberontakan Condet memang tercatat dalam dokumentasi pemerintah Hindia Belanda. Cerita bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi pada sekitar Februari 1916.


 Saat itu, Lady Lollinson-- seorang tuan tanah berkebangsaan Inggris—menang perkara atas seorang petani tua bernama Pak Taba. Selanjutnya, landrad (pengadilan) Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) memutuskan untuk menyita seluruh hak milik Pak Taba.

 Eksekusi pun dilakukan secara cepat dan terbuka. Secara paksa, para petugas pengadilan menyita seluruh harta Pak Taba, termasuk sebidang tanah di Kebon Jaimin sebelah utara. Maka sejak itu, jadilah Pak Taba dan keluarganya jatuh miskin.

 Penduduk Condet banyak bersimpati sekaligus marah atas nasib yang menimpa Pak Taba. Tak terkecuali, tokoh kharismatik mereka yang bernama Haji Entong Gendut.”Dia merasa gerah, karena cerita kumpeni menggusur tanah orang Betawi sudah terjadi ratusan kali,”tutur Thalib.

 Willard Hanna –sejarawan Indonesia asal Amerika Serikat--menyebut penyitaan oleh pemerintah Hindia Belanda sangat lazim pada tahun 1900-an. Itu terjadi karena rakyat kebanyakan tidak sanggup membayar blasting (pajak tanah) yang diterapkan. “Jumlahnya memang fantastis, hingga wajar dari blasting ini bisa menutupi 30% kebutuhan negeri Belanda,”tulis Hanna dalam Hikayat Jakarta.

 Karena tidak tahan, melihat penderitaan rakyatnya,Haji Entong kemudian bermusayawarah dengan tokoh-tokoh Condet lainnya seperti Haji Amat Wahab dan Haji Maliki. Keputusan pun lahir: mereka harus melawan.

 Maka pada 5 April 1916, sekitar jam 11 malam, ketiga haji itu memimpin 30 pemuda bergerak ke arah kediaman Lady Lollinson di Vila Nova.Dengan gagah berani, mereka menghentikan pesta Tari Topeng yang menyertakan juga kegiatan judi dan pelacuran.Saat ditanya oleh Mantri Polisi alasan penghentian itu, Haji Entong menjawab,”Demi agama!”

 Penghentian itu ditafsirkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai sebuah bentuk pembangkangan. Empat hari kemudian, menjelang ashar ratusan orang yang terdiri dari serdadu marsose, centeng-centeng tuan tanah dan para upas mengepung rumah Haji Entong di Batu Ampar.

 “Keluar kau, Entong!”teriak Wedana Pasar Rebo yang memimpin rombongan para pengepung itu

 "Gue bakalan keluar setelah sembahyang barang sebentar!" sahut Haji Entong dari dalam rumah.

 Detik demi detik berlalu. Dengan tegang para pengepung menunggu Haji Entong keluar. Bada ashar (sekitar jam 4 sore), Haji Entong pun keluar. Bersamaan keluarnya dia, dari semak-semak bermunculan puluhan jagoan Condet. Pertempuran pun berjalan secara tidak seimbang. Dentingan golok dan tombak terdengar nyaring bersanding dengan suara tembakan dari senapan para serdadu marsose.

 Haji Entong sendiri bertempur bak harimau lapar. Dengan sebilah golok, dan tombak berbendera merah dihiasi bulan sabit putih, dia mengamuk. Dari mulutnya, tak henti-henti terdengar takbir,” Allahu Akbar! Sabilillah…Gue kagak takut ame kompeni!”teriaknya.

 Menjelang magrib,puputan di Batu Ampar itu berakhir. Tanah Batu Ampar yang berwarna merah semakin merah karena darah. Di bawah pohon duku dan rimbunan pohon salak, puluhan mayat bergelimpangan. Termasuk mayat beberapa pemuda Condet dan para haji Betawi yang ikut bertempur.

 Mayat Haji Entong sendiri tak pernah jelas keberadaannya. Ada tiga versi cerita rakyat Condet berkaitan dengan hal ini. Pertama, mayatnya dibawa hanyut arus Sungai Ciliwung saat dia terdesak ke arah sungai itu lalu tertembak mati.

 Versi kedua, mayat Haji Entong diangkut Belanda lalu dimakamkan di sebuah tempat di Bogor. Versi yang tarakhir malah sangat tragis, mayat Haji Entong diceburkan oleh Belanda ke Laut Jawa.

 Versi mana yang betul, tidak ada seorang pun yang berani menjaminnya. Namun yang jelas,sejarah mencatat upaya itu menjadi sebuah pemberontakan besar terakhir kaum tani di Betawi terhadap Belanda.Memang setelah kejadian tersebut, ada muncul sosok-sosok haji pemberontak lainnya.Namun mereka hanya sebatas "palang dade" saja. Seperti misalnya di Tanah Abang , ada sosok Haji Sabeni atau di Kemayoran, terkenal pula nama Haji Ung. Mereka dikenal sebagai palang dade atau pembela masyarakat setempat jika rakyat memiliki masalah dengan Belanda dan kroni-kroninya.

 Bisa jadi karena sikap patriotik para haji saat itu, banyak nama jalan di Jakarta kemudian menggunakan nama mereka. Sebuah simbol kebanggaan rakyat Betawi akan leluhur mereka yang pahlawan. Laiknya kebanggaan Engkong Thalib.

Sumber : Hendi Jo

Rabu, 26 Juni 2013

ABG ERA REVOLUSI


Mungkin karena keadaan, abege zaman revolusi tak sepenuhnya bisa "mereguk indahnya masa-masa remaja". Alih-alih nongkrong2 atau sekadar pergi ke pesta, yang ada mereka malah harus selalu stelling (posis siap tempur) di front terdepan. Ronald Stuart Kain (jurnalis perang dari National Geographic yang pernah meliput perang kemerdekaan di Jawa) melukiskan mereka sebagai "tentara-tentara yang tampak baru beranjak remaja, sebagian besar begitu pendek dan kurus sehingga senapan yang mereka bawa terlihat terlalu berat. Seragam yang mereka pakai juga sangat beragam, demikian pula perlengkapan senjatanya. Sebagian besar seragam dan perlengkapan kelihatannya berasal dari tentara Jepang."

Sumber : Hendi Jo

Selasa, 25 Juni 2013

BERTEMPUR DI SAMPING KAWAN YANG GUGUR


Bertempat di pinggiran kota Surabaya. Seorang serdadu Belanda dari Kesatuan Marinir Kerajaan sekuat tenaga melumpuhkan para gerilyawan republik yang bersembunyi di sebuah gubuk. Sementara di sampingnya, seorang marinir lainnya terkapar dan gugur seketika terkena berondongan peluru yang berhamburan dari Senapan Mesin 12,7 para gerilayawan. Sumber resmi organisasi veteran Belanda menyebutkan sekitar 8000 tentara Belanda gugur selama "aksi polisional" (1946-1949) mereka di Indonesia. Ribuan lainnya cacat dan hilang di hutan-hutan tropis Nusantara.

Sumber : Hendi Jo

Senin, 24 Juni 2013

SOEKARNO TERLELAP SEPERTI GUS DUR


Foto langka ini merupakan koleksi pribadi Irawan Sumardi yang diberikan kepada kawan saya Mbak Kartini Alexander. Si Bung terlelap di samping Ratna Sari Dewi, saat kunjungan ke Paris pada 1960-an.

Sumber : Hendi Jo

Minggu, 23 Juni 2013

NERAKA INGGRIS DI TIMUR JAWA

Ratusan makam bernisan salib putih itu berderet rapi seperti tentara yang tengah berbaris. Di kanan kirinya, puluhan pohon kamboja tumbuh subur, kalah bersaing dengan hutan beton bangunan tinggi yang banyak tumbuh di sekitar Casablanca, Jakarta Selatan.

 Pekuburan itu memang terletak di salah satu pusat keriuhan Jakarta. Tepatnya di Menteng Pulo, sebuah tempat yang bertetangga dengan kawasan bisnis Kuningan atau Jalan Rasuna Said. ”Saking ramainya, tak banyak orang tahu di sini ada pekuburan,”ujar Andri (26), salah seorang tukang ojek yang kerap mangkal di sana.

 Ungkapan Andri memang tak salah. Alih-alih para pendatang, orang-orang yang sudah lama di Jakarta pun kadang jarang tahu soal pekuburan tersebut. Padahal yang ditanam di sana bukanlah manusia-manusa sembarangan. Mereka adalah para serdadu Inggris (2 diantaranya berpangkat Brigadir Jenderal) yang tewas saat berduel dengan para pemuda Indonesia di Surabaya 66 tahun yang lalu.

 Alkisah suatu siang pada 25 Oktober 1945,mendaratlah di Pelabuhan Tanjung Perak,Surabaya sekitar 6000 pasukan dari 49 Indian Infantery Brigade ”The Fighting Cock” (selanjutnya disebut Brigade 49) pimpinan Brigadir Jenderal AWS.Mallaby. Maksud kedatangan para serdadu yang memiliki pengalaman tempur menakjubkan saat melawan Tentara Jepang di hutan-hutan Burma itu, tak lain adalah untuk melucuti senjata balatentara Jepang di Indonesia

 ”Mereka tidak tahu beberapa hari sebelumnya senjata-senjata Jepang itu telah kami rampas lewat sebuah pertempuran yang panas,”ujar Letnan Kolonel (purnawirawan) Moekajat,salah seorang pimpinan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Surabaya kala itu.

 Kedatangan tentara Inggris, pada awalnya disambut baik. Namun sikap akomodatif dari para pemuda Surabaya justru disambut oleh tentara Inggris dengan sikap besar kepala. Salah satu contoh sikap arogan itu terlihat saat gagal menemukan kesepakatan dalam sebuah pertemuan antara pihak Tentara Inggris dengan pihak Indonesia (diwakili oleh pemerintah daerah Jawa Timur), tanpa ba-bi-bu, para perwira Inggris meninggalkan begitu saja Gubernur Soerjo.

 ”Sikap tersebut bisa jadi dipengaruhi oleh kebanggan psikologi mereka yang merasa sebagai salah satu pihak yang memenangi Perang Dunia II,”tulis Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.

 Setelah melalui sebuah lagi perundingan yang berlangsung alot, disepakati untuk sementara Tentara Inggris harus menghentikan laju gerakannya sampai garis 800 meter dari garis pesisir Tanjung Perak. Terhitung hari itu yakni 26 Oktober 1945.

 Namun kesepakatan baru berlangsung sehari, secara tiba-tiba Tentara Inggris melakukan gerakan menyerang kota: menduduki beberapa titik sekaligus melucuti beberapa kesatuan pemuda dan Polisi Indonesia. Seolah kurang puas dengan manuver itu, mereka pun mengirimkan ancaman yang disebar melalui pesawat dakota agar ”orang-orang Indonesia” menyerah tanpa syarat.

 Tentu saja aksi penginkaran itu direspon secara keras oleh para pemuda Surabaya. Alih-alih menuruti kemauan Tentara Inggris, mereka malah melakukan penyerangan balik. Terjadilah pertempuran selama 2 hari (28-29 Oktober) yang berakhir dengan terjepitnya posisi Tentara Inggris hingga tanpa malu-malu mereka mengibarkan bendera putih dan minta berunding.

 Ikhwal ”kekalahan memalukan” itu diakui oleh Kapten R.C.Smith, salah seorang veteran Tentara Inggris yang terlibat dalam pertempuran itu. Pada 1975,dalam suratnya kepada penulis J.G.A Parrot, Smith menyebut Brigjen Mallaby sangat khawatir jika pertempuran tak berhenti,anak buahnya akan disapu bersih (wiped out). Suatu kekhawatiran yang sama dirasakan pula oleh Kolonel A.J.F Doulton:

 ”Perlawanan heroik dari Tentara Inggris hanya akan berakhir dengan hancur leburnya Brigade 49,kecuali ada seseorang yang bisa mengendalikan kemarahan orang-orang itu (maksudnya para pejuang Indonesia di Surabaya),”tulis Doulton dalam The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division,1942-1947.Di kemudian hari Inggris menemukan ”sang pengendali” itu tak lain adalah Soekarno.

 Maka pada 30 Oktober 1945,atas permohonan Inggris,dari Jakarta Soekarno terbang ke Surabaya. Di sana ia terlibat perundingan dengan Mayor Jenderal D.C. Hawthorn,Komandan Divisi India 23, yang tak lain merupakan atasan Brigjen.Mallaby. Dari perundingan itu tercetus kembali kesepakatan yang diantaranya adalah pengakuan pihak Inggris terhadap eksistensi Republik Indonesia sebagai salah satu syarat dihentikannya pengepungan terhadap Tentara Inggris di Surabaya. Perundingan usai jam 13.00.

 Baru 4 jam Soekarno meninggalkan Surabaya, saat sosialisasi gencatan senjata di dekat Gedung Internatio Brigjen Mallaby tewas. Ikhwal penyebabnya hingga kini masih betselimutkan misteri. Pihak Inggris menyebut Mallaby gugur ditembak seorang pemuda Surabaya.Sebaliknya pihak Indonesia menuduh penembak runduk tentara Inggrislah yang membunuh jenderal mereka sendiri sebagai alasan untuk menjadikan kematiannya sebagai alasan menggempur Surabaya (Lihat tulisan saya yang lain Kematian Misterius Si Ayam Jago).

 Tewasnya Mallaby menjadikan kesepakatan gencatan senjata berlangsung berantakan. Pihak Inggris bereaksi keras atas peritiwa tersebut. Pada 31 Oktober 1945, terjadi peristiwa yang seolah de javu dari peristiwa 27 Oktober: sebuah pesawat dakota melayang-layang di atas Surabaya sambil menyebarkan selebaran yang singkatnya berisi ancaman supaya para pemuda dan pimpinan-pimpinannya menyerah tanpa syarat paling lambat 9 November 1945.

 Alih-alih dituruti, ultimatum yang langsung ditandatangani oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison (Komandan Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara) dianggap sepi oleh para pemuda. Sebagian malah mengangap itu merupakan gertak sambal gaya Britania saja.

 ”Pada prinsipnya mereka memilih untuk menjawab ancaman itu dengan perlawanan,” tulis Batara R. Hutagalung dalam 10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?

 Sementara pemuda Surabaya berlaku cuek, pada 3 November 1945,sekitar 24.000 serdadu mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak,Surabaya. Mereka dari Th5 British-Indian Division (selanjutnya disebut Divisi 5),yang baru saja mengalahkan pasukan Jerman Nazi pimpinan Marsekal Erwin Rommel di El Alamein,Mesir. Pendaratan itu diikuti pula dengan iring-iringan 20 pesawat pemburu Musquito dan 12 pesawat pemburu P4 Thunderbolt (yang bisa mengangkut 250 kg bom) serta puluhan tank jenis Sherman dan Stuart.

 Dan terbukti,sikap cuek para pemuda Surabaya harus dibayar mahal.Tepat pukul 06.00 pada 10 November 1945, Tentara Inggris membombardir Surabaya hingga tengah malam.Akibatnya ribuan orang (mayoritas rakyat sipil) tewas seketika. ”Wajar bila hari pertama saja sudah ribuan.Di Pasar Turi saja saya menyaksikan gelimpangan mayat berjumlah hingga ratusan,”ungkap Letkol (Purn) Moekajat.

 Seorang penulis bernama David Wehl menyatakan bahwa sejak 10 November 1945, Surabaya menjadi lautan api dan mayat. Mayat manusia, kuda, anjing,kucing,kambing dan kerbau bergelimpangan di selokan-selokan dan jalan-jalan utama kota Surabaya. Bau busuk yang bersanding dengan mesiu telah menjadi aroma sehari-hari di kota itu.

 Di bawah “guyuran” agitasi Bung Tomo dari Radio Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), pertempuran antara dua pihak sendiri berlangsung seru. Kendati hanya mengandalkan sejenis senjata tajam dan senjata api peninggalan KNIL dan rampasan dari Jepang, pemuda-pemuda Indonesia (saya sebut demikian karena para pemuda yang bertempur bukan hanya dari Surabaya saja tapi juga pemuda dari seluruh Indonesia yang sengaja datang ke sana) melakukan perlawanan sengit.

 “Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya... Perlawanan orang-orang Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati dan dinamit di badan menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”tulis David Wehl dalam Birth of Indonesia.

 Sejarah mencatat, Tentara Inggris sempat lintang pukang menghadapi perlawanan ini. Di hari kedua saja,sudah 3 Mosquito tertembak jatuh. Termasuk yang membawa Brigjen. Robert Guy Loder Symonds, kena sikat PSU Bofors 40 (sejenis senjata penangkis serangan udara milik KNIL) yang dikendalikan oleh sekelompok veteran PETA yang berpengalaman menghadapi pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat di palagan Halmahera dan Morotai.

 Kisah Perang Surabaya tidak hanya berisi cerita-cerita heroik semata. Tapi juga cerita nyinyir dari sudut tergelap perjuangan. Kala itu selain para pemuda pejuang, di Surabaya bertebaran pula bandit-bandit berkedok pejuang yang kerjaannya memperkosa para perempuan Indo dan merampok harta rakyat. Persis seperti dikisahkan Trisnoyuwono (salah seorang penulis ternama Indonesia) dalam salah satu cerita pendeknya berjudul Di Medan Perang.

 Hingga pertempuran berakhir di hari ke-21, korban jiwa diperkirakan mencapai angka puluhan ribu. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif menangani korban pihak Indonesia, jumlah orang Indonesia yang tewas dalam insiden itu adalah 16.000 jiwa.Lalu bagaimana dengan korban di pihak Inggris?

 Mengutip keterangan penulis Anthony James Brett, Batara R.Hutagalung menyebutkan sejak mendarat di Surabaya, Inggris telah kehilangan sekitar 1500 prajuritnya (termasuk 2 jenderal tewas dan 300 serdadu Inggris Muslim asal India dan Pakistan yang diklaim pihak Indonesia telah menyebrang ke pihak mereka).

 Karena itu, Inggris menyebut Perang Surabaya sebagai perang yang terberat pasca Perang Dunia II.Surat kabar New York Times (edisi 15 November 1945) bahkan mengutip kata-kata para serdadu Inggris yang menyebut “The Battle of Surabaya” sebagai “inferno” atau neraka di timur Jawa.Berlebihan? Saya kira tidak, nisan-nisan yang berjejer rapi di Menteng Pulo adalah salah satu saksinya.

Sumber : Hendi Jo

SERDADU INGGRIS ASAL INDIA YANG MEMBELOT DI SURABAYA


Kopral Mir Khan, salah seorang serdadu dari British Indian Army mengaku kerap galau setiap ia berkesempatan berhadapan dengan pejuang-pejuang di Surabaya di medan tempur, ia selalu mendengar teriakan “Allahu Akbar". Hal yang sama juga dirasakan oleh prajurit muslim British Indians Army lainnya. Kegalauan itulah yang kemudian membuat mereka nekad untuk membelot (desersi) dan bergabung dengan para pejuang. Menurut catatan sumber Inggris, sekitar 300 serdadu muslim India diperkirakan membelot dan bergabung dengan para pejuang Surabaya. Foto yang dirilis Imperial Musseum War ini memperlihatkan anak-anak muda India Muslim yang tengah menyerahkan diri ke pihak Republik.

Sumber : Hendi Jo

Sabtu, 22 Juni 2013

INILAH TIM SEPAKBOLA LEGENDARIS IMPIAN INDONESIA


Ribut-ribut soal PSSI yang politis tapi miskin prestasi itu, saya jadi ingat suatu hari di tahun 1983, ketika saya diajak bapa saya menonton sebuah pertandingan super lucu (karena mainnya memang ga pake aturan dan banyolan habis) antara tim lokal dengan Tim Nasional Indonesia Pelawak di Stadion Badak Putih Cianjur,Jawa Barat. Saya ingat waktu itu, wasit "tak berdaya" sama sekali karena "dikerjain" sama para pelawak2 legendaris itu (celananya dipelorotin-lah), pertandingan berakhir ketika Darto Helem terkapar di tengah lapangan karena kepalanya bocor akibat lemparan tongkol jagung dari seorang penonton yang iseng. "Tega banget sih yang lemparin saya, apakah karena kepala saya memang "merangsang" untuk dilempar,"kata Darto sambil dirawat seorang dokter. Pokonya lucu deh, saya aja yang masih bocah sampai terpingkal-pingkal lihat kelakuan konyol Benyamin, Bagyo, Darto dan kawan-kawannya itu.

Sumber : Hendi Jo

Jumat, 21 Juni 2013

SKETSA SEBUAH PERTEMPURAN DALAM PERANG JAWA


November 1828 adalah hari-hari yang penuh dengan kekalahan demi kekalahan dari militer Belanda atas Pasukan Diponegoro di Pulau Jawa. Hingga akhir 1830, Belanda mengalami rugi 20 juta gulden. Korban nyawa mencakup angka 7000 tentara pribumi (tentara bayaran) dan 8000 bule totok. Di pihak Diponegoro sendiri sekitar 200.000 orang tewas. Konon angka terakhir itu cukup berpengaruh terhadap ketidakimbangan statistik penduduk di pulau Jawa saat itu. Banyak kaum laki-laki yang mati akibat perang. Ini adalah sketsa versi Jawa yang melukiskan suatu pertempuran antara militer Belanda dengan pasukan Diponegoro di kawasan Selarong. Seragam yang dikenakan tentara Belanda mengingatkan saya kepada seragam tempur tentara Amerika Serikat dalam Perang Saudara yang terjadi kira2 sezaman dengan peristiwa itu.

Sumber : Hendi Jo

Kamis, 20 Juni 2013

SATU MCK DENGAN SERDADU BELANDA


Orang-orang bumiputera yang tempat tinggalnya dekat tangsi militer tentara Belanda tak memiliki pilihan lain untuk menyalurkan hajatnya. Mereka mencuci baju, mandi, dan buang hajat "terpaksa" berbagi dengan para serdadu Belanda. Bahkan menurut Johan van Duppre, perempuan-perempuan kampung sekitar tangsi bahkan ada yang menjadi penjual jasa mencuci baju bagi para tentara Belanda. Sebuah pemandangan yang saya ambil dari koleksi foto Flip Peeters (lelaki Belanda yang pernah dikirim ke Indonesia pada 1946-1949 sebagai tenaga tempur). Lokasi dan waktu tidak diketahui dengan pasti.

Sumber : Hendi Jo

Rabu, 19 Juni 2013

PARA BOCAH YANG DIPEKERJAPAKSAKAN OLEH SERDADU BELANDA


Tjikalong Koelon di wilayah Tjiandjoer termasuk "kawasan merah" bagi para serdadu Belanda yang akan berkedudukan di kota Tjiandjoer pada 1946-1949. Konvoi atau patroli mereka sering menjadi sasaran pencegatan oleh para gerilya Republik dari Batalyon “Banteng” ( di bawah Kapten Syahdi) dan Batalyon “Hizbullah” (di bawah Kapten Tabrani). Untuk memotong jalur ke Plered dan Purwakarta, para gerilyawan tak jarang merusak jembatan-jembatan yang sering dilewati konvoi tentara Belanda. Untuk memperbaiki dan mebangunnya kembali, terntara Belanda tak segan-segan memaksa anak-anak di bawah umur untuk bekerja. Inilah pemandangan kegiatan sebagian anak-anak Tjikalong Koelon yang dipaksa dan dimanfaatkan oleh militer Belanda untuk memperbaiki jembatan-jembatan yang dirusak para gerilyawan tersebut. Foto diambil pada 1947 oleh fotografer bernama C.J. (Cees) Taillie, dan foto ini sekarang menjadi koleksi Tropen Museum, Belanda dengan No. TMnr_10029109.

Sumber : Hendi Jo

Selasa, 18 Juni 2013

PRESIDEN AMERIKA SERIKAT PALING DEKAT DENGAN BUNG KARNO


John Fitzgerald Kennedy adalah presiden negara Paman Sam paling akrab dengan Bung Karno. Bukan saja secara pribadi, namun juga sebagai sesama negarawan. "Dia adalah presiden AS yang paling mengerti aku,"ujar Sukarno dalam buku Cindy Adams: Bung Karno Penyambung Lidah Rakjat Indonesia. Awal persahabatan dua lelaki flamboyan ini terjadi ketika pesawat B-26 milik pemberontak Permesta yang dikendalikan oleh intel CIA bernama Allen Pope tertembak di Pulau Morotai oleh pesawat pemburu Mustang AURI.

 Tertangkapnya Allen Pope membuat geger AS. Tuntutan rakyat AS terhadap pemerintahnya untuk membebaskan Allen semakin kuat hingga membuat pemerintah AS secara intensif melakukan berbagai lobi politik terhadap Jakarta. Hasil yang memuaskan baru dituai saat secara pribadi JFK menghubungi BK. Bahkan bukan hanya sekedar menghubungi, JFK pun mengundang BK untuk datang ke negaranya.

 Pada 1961, BK pun menjadi tamu resmi JFK. Saat di AS ini, BK diajak mengunjungi pabrik pesawat Lockheed di Burbank, California. Di sana Bung Karno JFK membantu proses pembelian 10 pesawat Hercules tipe B, terdiri dari 8 kargo dan 2 tanker, yang merupakan cikal bakal lahirnya armada Hercules bagi AURI (armada yang kelak ikut bertempur merebut Irian Barat). Bung Karno bisa membuat Amerika menghentikan embargo. Lalu menyuntik dana ke Indonesia.

 Kebijakan JFK yang selalu menggunakan politik merangkul terhadap negara-negara yang kritis terhadap AS menjadikan sebagian tokoh garis keras di CIA berang. Bukan rahasia lagi jika JFK memiliki hubungan yang kurang bagus dengan petinggi2 CIA. Entah ada hubungannya atau tidak, pada 1963 JFK tewas ditembak di Dallas. Terbunuhnya JFK, membuat kebijakan AS terhadap Indonesia kembali mengeras dan CIA kembali melancarkan aksinya untuk menyingkirkan BK. Ini adalah foto lawas President John F. Kennedy bersama putrinya Caroline Kennedy tengah bercanda dengan BK di South Lawn, White House, Washington, D.C. Sebuah peristiwa sejarah yang laik dikenang.

Sumber : Hendi Jo

Senin, 17 Juni 2013

TUGU PANCORAN 1967


Kemarin entah untuk ke berapa ribu kalinya saya lewat Tugu Pancoran. Lagi asyik menikmati suasana Jakarta Tanpa Macet, tiba-tiba sopir taksi yang lumayan sudah berumur kayaknya, nyeletuk: “Ga nyangka Pancoran jadi kayak gini, dulu di sini hutan karet, Pa,”katanya sambil menunjuk kawasan ke arah Jalan Gatot Soebroto yang sekarang menjadi rimba beton itu. Kami lalu jadi ngobrol-ngobrol tentang dunia jadoel, mulai jalur pasar minggu-pancoran yang rawan bajing loncat (sejenis rampok yang tiba-tiba berloncatan dari pohon-pohon sekitar jalan laiknya bajing atau tupai) hingga pengalaman dia diburu-buru Banser NU karena dia dituduh anggota Pemuda Rakyat (onderbouw PKI) sampai akhirnya ia terdampar di Batavia eh Jakarta. Pulang ke rumah, saya cari Pancoran tempo doeloe dan menemukan foto ini. Sepertinya gambar ini diambil dari arah Jalan MT.Harjono…Jalan ke sebelah kiri itu ke arah Pasar Minggu, lurus ke arah Gatsoe dan ke sebelah kanan jalan Saharjo ke arah Manggarai.Kalau keliru, mohon dikoreksi.

Sumber : Hendi Jo

Minggu, 16 Juni 2013

PATROLI TENTARA INGGRIS DI JALANAN JAKARTA


Sebuah tank M3 Stuart milik tentara Inggris tengah berpatroli di sekitar Jalan Matraman dan Jatinegara (dekat Komplek Militer Bearland sekarang), Jakarta pada awal 1946. Sementara di sisi kiri, sebuah trem yang dipenuhi penumpang meluncur seolah ingin berpacu dengan alusista era PD II tersebut.

Sumber : Hendi Jo

Sabtu, 15 Juni 2013

KORUPSI PERTAMA SEBUAH BANGSA


Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menulis tentang prilaku para pejuang dan lasykar yang kerjaannya “nyusahin” rakyat di daerah pendudukan selama Perang Kemerdekaan berlangsung (1945-1949). Mereka yang mengatasnamakan pejuang kemerdekaan, sesungguhnya hanya terdiri dari para “penumpang gelap” revolusi: berlaku gagah-gagahan tapi kerjaannya hanya merampok, menggarong dan memperkosa ( mayoritas korbannya perempuan-perempuan Belanda dan Indo).

 Tapi sesungguhnya prilaku konyol dan merugikan itu bukan hanya milik para bawahan saja ataupun terbatas hanya prilaku kaum bersenjata semata. Laiknya hari ini, di tingkat pejabat, praktek penggarongan dalam nama korupsi pun juga terjadi. Bahkan dengan memakan korban jumlah uang yang lumayan banyak. Inilah salah satu kisahnya.


 Juni 1948, Presiden Sukarno melakukan muhibah ke Aceh. Di ranah rencong tersebut, ia tidak saja disambut secara gempita tapi juga didapuk oleh tokoh-tokoh setempat untuk menyebut sesuatu hal yang menjadi kebutuhan urgen dari pemerintah barunya. “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk membuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau…”kata Sukarno seperti dituliskan oleh M. Nur El Ibrahimy dalam Kisah Kembalinya Tengku Muhammad Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia (1979).

 Begitu keluar ucapan tersebut dari mulut Sukarno, tanpa banyak cakap, rakyat Aceh merogoh saku dan mencopot perhiasan yang ada di tubuh mereka. Begitu tingginya semangat untuk berkorban, hingga konon antrian para donatur (terdiri dari kalangan kaya maupun kalangan biasa) di beberapa masjid dan pusat pemerintahan Kotaradja (sekarang Banda Aceh) panjangnya sampai ratusan meter. Beberapa jam kemudian terkumpulah dana sebesar 120.000 straits dollar ditambah 20 kg emas.

 Singkat cerita, dana itu kemudian diancer-ancer untuk membeli sebuah pesawat terbang. Sebagai pimpro dipilihlah Wiweko Soepono, penerbang senior Indonesia sekaligus salah satu direktur Garuda paling sukses sepanjang sejarah. Dengan bekal wessel 120.000 straitsdollar ia kemudian terbang untuk mencari pesawat di Thailand. Namun anehnya, saat Wiweko ke bank, mereka hanya bilang dana yang ada tinggal 60.000 straits dollar saja. Raib 50%!

 Wiweko akhirnya mafhum, dirinya “dibokisin”. “Saya hanya menerima setengah dari dana sumbangan…,” ungkapnya ketika diwawancara oleh Majalah Angkasa pada tahun 2000.

 Soal siapa yang bokis dalam masalah ini, Wiweko mengaku tak tahu sama sekali. Ia pun tak mau berspekulasi bahwa pemberi wessel (yang enggan ia sebut namanya) adalah penilep sebagian uang sumbangan itu. Untuk menghindari fitnah dan intrik, Wiweko memotokopi pencairan wessel tersebut. Hingga dirinya beranjak tua, fotokopi wessel itu tetap ia simpan.

 Dengan uang 60.000 straits dollar, perwira Angkatan Udara Republik Indonesia itu berhasil membawa pulang sebuah Dakota DC-47B yang kemudian diberi nama Seulawah (artinya Gunung Emas). Nomor registrasi penerbangannya: RI-001. Pesawat itu kemudian secara resmi menjadi pesawat kepresidenan pertama sebelum beberapa tahun kemudian dikomersialisasi untuk melayani penerbangan sipil di Burma.

 Lantas, bagaimana kabar uang 60.000 staits dollar dan 20 kg emas hasil sumbangan dari rakyat Aceh? Laiknya kasus-kasus mega korupsi yang terjadi kemudian, soal itu seolah sirna, tertumpuki cerita-cerita sejarah yang lainnya hingga orang-orang lupa sama sekali . Indonesia banget ya?

Sumber : Hendi Jo

Jumat, 14 Juni 2013

INI JENDERAL ATAU POHON NATAL?

Mendiang Jenderal Edi Sudradjat (mantan Menhan, Pangti ABRI dan Kasad) sering menyindir jenderal-jenderal ABRI yang doyan mememakai bintang jasa seabreg-abreg di pakaiannya sebagai "pohon natal berjalan"...Andaikan Pak Edi masih hidup apa komentarnya kepada jenderal2 Korea Utara di foto ini ya?




Sumber : Hendi Jo

Kamis, 13 Juni 2013

GANJANG MALAYSIA DENGAN ANGKATAN KELIMA


Ini adalah foto dari majalah LIFE yang memperlihatkan barisan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, onderbouw PKI) tengah latihan baris berbaris seraya membawa senjata jenis Tjung buatan RRT (Republik Rakjat Tiongkok) di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Aksi tersebut sebetulnya sangat tidak disukai oleh pihak AD (Angkatan Darat). Namun dengan alasan mempersiapkan sukarelawan KOGAM (Komando Ganjang Malaysia) maka dengan setengah hati pihak aparat mengizinkan kegiatan ini. Guna lebih mengorganisasikan perjuangan aksi ganyang Malaysia (atau lebih dikenal dengan Dwikora), PKI lewat Ketua Umum Dipa Nusantara Aidit telah membicarakan soal pembentukan Angkatan Kelima pada 14 Januari 1965 dengan Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi di Istana Merdeka.

 Sejarawan Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun 1966, menyebut Angkatan Kelima sebagai inisiatif politik Aidit untuk melakukan semacam takeover atas suatu gagasan yang muncul sebelumnya pada kwartal terakhir tahun 1964. Syahdan, saat Bung Karno berkunjung ke Cina, ia mendapat masukan politik dari Pemimpin RRT Mao Zedong dan Perdana Menteri Chou En-lai untuk mempersenjatai buruh dan tani. Itu wajib hukumnya, kata mereka, supaya lebih menguatkan perjuangan melawan kaum imperialis dalam Operasi Dwikora, Bung Karno harus memiliki sejenis pasukan seperti Tentara Merah-nya Mao. Sebagai bentuk keseriusan RRT membantu terbentuknya Angkatan Kelima itu, Chou En-lai (disetujui oleh Mao) berkomitmen memberikan 100.000 pucuk senjata Tjung secara cuma-cuma kepada Indonesia. Diharapkan dengan bantuan senjata-senjata itu, Indonesia bisa membentuk sedikitnya 10 divisi bersenjata dari kalangan buruh an tani. "Terkesan pada mulanya Soekarno tertarik sedikit saja meskipun memperlihatkan sikap cukup menyambut baik gagasan itu dan untuk seberapa lama belum menunjukkan sikap persetujuan yang jelas. Agaknya, Presiden Soekarno masih memperhitungkan juga faktor reaksi dan sikap Angkatan Darat nantinya," tulis Rum Aly.

Sumber : Hendi Jo

Rabu, 12 Juni 2013

NASIB ANGGOTA PKI USAI OKTOBER 1965


Begitu insiden penculikan sekaligus pembunuhan 6 jenderal plus 1 perwira pertama Angkatan Darat di Lubang Buaya, Jakarta Timur meledak, hari-hari jahanam dilalaui oleh para angota Partai Komunis Indonesia (PKI). Laiknya binatang buruan, mereka dicari, dtangkap, disiksa dan dubunuhi. CIA menyerahkan 5000 nama yang harus dibersihkan pihak Angkatan Darat usai peristiwa itu. Apa lacur, 5000 tinggalah angka yang tak bisa dipegang, dalam kenyataannya korban tewas justru berlipat-lipat hingga angka 2 juta (menurut versi Komanda RPKAD Sarwo Edhie Wibowo (yang tak lain merupakan mertua Presiden SBY).

Ben Anderson menyebut angka yang lebih moderat: 500.000 jiwa melayang di Sumatera, Jawa, Bali, Nusatenggara dan Sulawesi. Begitu sistematisnya upaya genocide tersebut hingga orang-orang PKI tak bisa membuat pilihan selain mati dengan cara cepat. Tahun 1999, saya sempat melakukan reportase di wilayah Nganjuk dan mendapat keterangan mengerikan dari seorang warga di Desa Kemantren Plangkat bahwa saking pasrahnya orang-orang PKI menghadapi maut, mereka rela untuk antri saat akan dipenggal lehernya. "Antriannya mirip orang beli beras,"ujar nara sumber saya tersebut. Ini adalah foto seorang anggota PKI yang berhasil diciduk dari sebuah desa di Jawa Tengah pada sekitar akhir 1965. Sebuah realitas mengerikan yang tak layak diulang oleh bangsa ini.

Sumber : Hendi Jo

Selasa, 11 Juni 2013

DULU " BELA RAKYAT" SEKARANG MENINDAS RAKYAT


Liem Bian Koen alias Sofjan Wanandi merupakan aktivis terkemuka Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dari FEUI. Di zamannya ia dikenal sebagai aktivis vokal yang selalu terdepan memperjuangkan AMPERA (amanat penderitaan rakyat). Kini Liem menjadi pengusaha dan merupakan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang dikenal sangat tidak sensitif dengan kepentingan buruh. Beberapa hari lalu ia memprotes sekaligus mengancam Pemerintah DKI Jakarta yang menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar 40 persen. "Kami akan melakukan relokasi ke Jawa Tengah dan Jawa Timur yang upahnya masih sekitar 1 juta rupiah. Para pengusaha mencari lokasi di mana upah bisa menjadi lebih murah,” ujar Sofjan Wanandi.

 Ancaman Liem Bian Koen ini sontak membuat Ahok naik pitam. Dengan gaya khasnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut menyilahkan Liem dan APINDO-nya untuk minggir. “Kita sudah bicara berapa kali kok. Tidak mungkin ketemu kalo bicara sama mereka (Apindo). Kalo dia ngotot di bawah KHL, kamu mau jadikan orang Jakarta budak kamu, apa?!” ujar Ahok dalam nada keras. Liem adalah contoh seorang mantan aktivis yang tak pernah lagi menengok pijakan dasar mengapa dia ada di posisi yang sekarang. Pidato-nya tentang amanat penderitaan rakyat di Kampus UI Salemba puluhan tahun yang lalu ternyata "pertumpahan air liur semata"...Sang demonstran lupa akan "niat baik hatinya" di masa lalu.

Sumber : Hendi Jo

Senin, 10 Juni 2013

TAKSI RIWAYATMU DOELOE

Ada sebuah anekdot yang populis di kalangan sopir taksi Jakarta.Anekdot itu berupa pertanyaan usil: apa bedanya penumpang taksi bule dengan penumpang taksi pribumi? Jawabannya: kalau penumpang bule saat naik taksi pemandangan sepanjang jalan yang ia lihat. Nah,kalau penumpang pribumi? Sepanjang jalan yang ia lihat adalah… Argometer!


 Secara historis, alat ukur pembayaran perjalanan itu memang menempati posisi penting dalam sejarah perkembangan taksi di dunia. Sebelum taksi yang biasa kita kenal hari , awal perkembangan bisnis taksi dimulai dari jasa niaga penyewaan kereta kuda berukuran kecil Hackney Carriage di Paris dan London pada awal abad ke-17.

 Taksi modern sendiri mulai berkembang dengan ditandai penemuan argometer oleh Wilhelm Bruhn pada 1891. Tersebutlah, seorang pengusaha jasa niaga transportasi bernama Gottlieb Daimler yang pada 1897 menyempurnakan hasil temuan Bruhn tersebut. Ia lantas memberi nama alat tersebut sebagai Daimler Victoria. Pada 16 Juni 1897, Daimler Victoria dikirim ke Friedrich Greiner, pengusaha Stuttgart yang pertama kali membuat perusahaan taksi di dunia dengan kendaraan bertenaga batterai.

 Penggunaan kendaraan bertenaga bahan bakar sebagai taksi terjadi pada 1899 di Paris, 1903 di London dan 1907 di New York. Taxicab New York diimport oleh Harry N Allen dari Paris dan dia adalah orang pertama yang menggunakan warna kuning di taxicab New York dengan dasar pertimbangan warna tersebut adalah warna yang paling mudah dikenali di jalan.

 Selanjutnya, taksi terus berkembang terus hingga abad 20. Perkembangannya semakin maju saat pada 1940, mulai dikenal radio komunikasi 2 arah sebagai instrumen pelengkap di taksi. Penggunaan radio ini sangat membantu komunikasi operator dengan pengemudi dalam melayani order pelanggannya.

 Pada tahun 1980, masuklah teknologi komputer yang digunakan sebagai alat untuk distribusi order. Saat ini regulasi taksi yang berisikan tentang spesifikasi kendaraan yang boleh digunakan taksi serta prosedur-prosedur dasar dalam proses pelayanan pelanggan taksi menjadi salah satu perhatian penting bagi pemerintah dibidang transportasi. Taksi menjadi ikon perkembangan kota bisnis dan pariwisata di dunia.

 Di Indonesia sendiri, diperkirakan taksi mulai masuk pertama kali lewat Batavia (Jakarta) pada 1930-an. Menurut Onih Masruha (89), jumlahnya pun tak banyak,hanya puluhan. Justru dengan jumlah terbatas itu, taksi di zaman Hindia Belanda menjadi ukuran status sosial,”Orang kite mana ada yang pakai taksi,kebanyakan yang naik kalau bukan meneer-mener ya sinyo-sinyo atawa noni-noni,”ujar lelaki Betawi yang kini tinggal di kawasan Kwitang tersebut.

 Kendati bersifat eksklusif, namun taksi zaman Hindia Belanda tidak seenaknya mengambil penumpang dan mangkal di sembarang tempat. Itu berbeda dengan taksi zaman sekarang, yang sesuka hatinya mengangkut “sewa” Akibatnya, tak jarang mereka –bersama mikrolet dan metromini--menjadi biang keladi kemacetan yang terjadi di jalan-jalan utama ibukota.

 Di zaman Hindia Belanda, para pengemudi kendaraan bermahkota itu tidak diizinkan mengambil penumpang di tengah jalan. Mereka hanya menurunkan penumpang di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Makanya bukan suat yang aneh jika di zaman itu ada yang disebut pangkalan taksi. Fungsinya mirip terminal bus kota saat ini: calon penumpang yang ingin naik taksi harus mendatangi terminal atau pangkalan taksi tersebut.Uniknya, di pangkalan itu berlaku pula sistem antri.

 Ada beberapa pangkalan taksi yang ada saat itu di Jakarta. Diantaranya ada di Lapangan Gedung Balai Kota (Stadhuis), Kali Besar Barat dan Lapangan Glodok (Glodok Plein). Sedangkan di Weltevreden dipusatkan tidak jauh dari gedung pertemuan di Harmonie, Pintu Air, Gedung Kesenian (Stadsschouwburg), pojok selatan Lapangan Banteng (Waterlooplein), Stasiun Gambir, Deca Park, pojok Menteng atau Gondangdia Lama, Entrée Saleh (kini Jalan Raden Saleh), Kebon Binatang di Cikini, Krekot, Pasar Baru dan Senen.

 Soal kapasitas, taksi tempo doeloe itu dibatasi hanya memuat 5 penumpang. Ongkosnya dihitung berdasarkan kilometer yang ditempuh. Misalnya untuk satu kilometer dikenakan sebesar 30 sen atau 10 sen untuk tiap satu menitnya. Itu merupakan ongkos sewaan di siang hari yang dimulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 23.00 malam. Sedangkan untuk di malam hari ongkosnya 50 persen lebih tinggi dari ongkos di siang hari. Waktu malam hari dihitung mulai dari pukul 23.00 malam hingga 06.00 pagi besoknya.
 Harga ongkos semakin melonjak kalau sang penumpang minta diantar ke Pelabuhan Tanjung Priok. Jika diminta menunggu maka sang penumpang harus membayar 5 sen permenit dari pertama kali waktu harus menunggu. Hitungan ini di luar ongkos yang telah dipatok sebelumnya. Dengan situasi seperti tersebut, ajaibnya tidak ada terdengar kejadian sopir taksi dirampok saat itu.

 Keistimewaan lainnya dari taksi zaman dulu itu adalah para supirnya yang sangat patuh kepada peraturan yang ditetapkan pihak Kotapraja kala itu. Memang ada peraturan, selain wajib mengangkut penumpang di pangkalan taksi, mereka pun tidak dibenarkan merokok saat membawa penumpang. Bagaimana jika ada sopir taksi yang tetap membandel? Pihak Kotapraja tak segan-segan mencabut surat izin mengemudi (rijbewijs). Tentunya tanpa rijbewijs, mereka tak bisa mencari nafkah.

Sumber : Hendi Jo

Minggu, 09 Juni 2013

APRIL HITAM DI BATAVIA

Tugu peringatan tua itu berdiri kokoh. Tingginya sekitar 2 meter dengan warna putih pucat dimakan zaman. Tepat di puncak tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri angker menantang langit. Persis di badan tengah tembok itu,sebuah tulisan kuno berbaris kaku.

 “Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat Pieter Erberveld.Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722,”demikian kira-kira terjemahan bebas dari bunyi huruf-huruf berbahasa Belanda dan Jawa itu.


 Bersama ratusan nisan dan prasasti lainnya, tugu itu merupakan bagian dari Museum Prasasti, Jakarta Pusat. Aslinya benda tersebut berasal dari Kampung Pecah Kulit (sekarang Jalan Panggeran Jayakarta di Jakarta Utara). Namun sejak dijalankannya proyek relokasi oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1977, tembok berpenampilan angker itu dipindahkan ke sana. Lantas siapa Peter Erberveld yang disebut dalam prasasti itu?

 “Saya tidak tahu pasti.Katanya sih dia itu dulu salah satu pemberontak yang paling dibenci kompeni,”ujar Asim (50), salah seorang penjaga di Museum Prasasti.

 Keterangan Asim memang benar adanya. Adolf Heukeun dalam Historical Sites of Jakarta menyatakan pemberontakan Peter Erberveld memang tercatat dalam dokumentasi pemerintah Hindia Belanda. Cerita bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi pada 1708.

 Saat itu, pemerintah VOC (maskapai perdagangan Hindia Timur yang merupakan wakil dari Kerajaan Belanda di Nusantara kala itu— lewat Dewan Hemradeen (Collage van Heemraden) menyita ratusan hektar tanah di Pondok Bambu atas nama kepemilikan Peter Erberverld.Alasannya, tanah itu tak memiliki akte yang disahkan oleh VOC.

 Pieter Erberveld adalah seorang Indo.Ayahnya bernama Peter Erberveld senior, seorang pengusaha kulit binatang yang berasal dari kota Elberfeld (kini merupakan bagian kota Wuppertal di negara bagian Nordrhein-Westphalen, Jerman).Ibu Pieter sendiri konon berasal dari Siam (Thailand). Namun berbeda dengan Heukeun, Alwi Sahab,sejarawan Betawi, menyebut sang ibu justru berasal dari Jawa.

 Bisa jadi karena setengah inlander, Pieter jadi memiliki hubungan baik dengan orang-orang pribumi. Itu dibuktikan saat terjadi penyitaan tanah oleh VOC, rakyat kebanyakan berdiri di belakangnya. Namun kendati didukung masyarakat banyak, VOC tetap bersikeras menyita tanah juragan Jerman itu. Alih-alih membebaskannya, Gubernur Joan van Hoorn malah menambah hukuman dengan mewajibkan Pieter menyerahkan denda 3300 ikat padi kepada VOC.

 Sejak peristiwa tersebut, Pieter memendam benci kepada VOC. Terlebih dalam menjalankan bisnisnya selain kerap licik dan kejam, maskapai dagang besar pertama di dunia itu juga bergelimang korupsi. Sebuah prilaku yang disebut oleh Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung,menjadi biang keladi kebangkrutan VOC pada 1799.

 *

 Insiden Pondok Bambu menjadikan hubungan antara Pieter dengan VOC berlangsung tegang dan penuh kecurigaan. Namun sebaliknya, di kalangan masyarakat pribumi, kejadian yang menimpa Pieter itu memunculkan sikap simpati yang lebih besar.Sebagai tanda hubungan baik itu berlangsung, Pieter sering berkunjung ke rumah-rumah masyarakat pribumi dan tak jarang mengadakan pertemuan di rumahnya yang terletak di kawasan yang sekarang bernama Kampung Pecah Kulit.

 Pertemuan demi pertemuan memunculkan rasa senasib dan sepenanggungan. Dari ikatan emosional itu entah dari mana datangnya lantas muncul hasrat untuk melakukan pemberontakan. Bersama seorang ningrat asal Banten, Raden Ateng Kartadriya dan 25 pengikutnya,Pieter merencanakan aksi pembangkangan.Hari H-nya: 31 Desember 1721,bertepatan dengan pesta malam tahun baru 1722.

 Selain berharap pada bantuan Kesultanan Banten yang sudah dikontak sebelumnya, pemberontakan itu juga rencananya akan melibatkan banyak bantuan dari berbagai pihak “Saya sendiri dan beberapa kawan sudah mengumpulkan 17.000 prajurit yang telah siap memasuki kota,” ujar Raden Kartadriya seperti ditulis Alwi Shahab dalam Batavia Kota Banjir.

 Namun mujur tak dapat diraih malang tak dapat ditolak.Pemufakatan subversiv itu malah bocor sebelum waktunya kepada intelejen VOC. Lewat mulut seorang budak Pieter yang “bernyanyi”, Reykert Heere (Komisaris VOC untuk urusan bumiputera) bertindak cepat dengan menangkap 23 pelaku rencana pemberontakan tersebut termasuk Pieter dan Raden Kartadriya.

 Sekitar 4 bulan pasca penangkapan, Collage van Heemradeen Schepenen (Dewan Pejabat Tinggi Negara) memutuskan hukuman mati untuk Pieter dan para pengikutnya. Namun hukuman mati itu dilakukan dengan cara yang tidak biasa dan sangat kejam. Di sebuah lapangan sebelah selatan dekat Balai Kota, mereka menjalani hukuman sebagai pemberontak dengan punggung diikat pada sebuah salib, tangan kanan dibacok hingga putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar.

 Seolah ingin lebih puas, jantung mereka dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah para terhukum. Kepala dipancung dan tubuh mereka diikat oleh 4 ekor kuda yang berada pada 4 posisi arah mata angin. Begitu kuda-kuda tersebut dihela maka berpecahanlah tubuh dan kulit mereka ke 4 penjuru. Kepala mereka lantas ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung sekaligus pembangkit efek jera kepada siapapun yang berniat melakukan pemberontakan terhadap VOC.

 “Kelak bekas tempat eksekusi Pieter dan kawan-kawanya disebut sebagai Kampung Pecah Kulit,”ujar Alwi Shahab.

 **

 Benarkah Pieter dan kawan-kawan bumiputeranya merencanakan sebuah pemberontakan berdarah? Secara pasti hanya Tuhan dan para pejabat tinggi VOC-lah yang tahu. Namun 200 tahun setelah eksekusi barbar itu, seorang sejarawan Belanda bernama Prof.Dr.E.C.Godee Molsbergen dalam De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw, menyebut Insiden Pieter Erberveld sebagai peristiwa berdarah yang sarat konspirasi politik.

 Selain faktor ketamakan ekonomi VOC, Prof.Godee menyatakan Insiden Pieter Erberveld terjadi karena adanya intrik dan nafsu politik di kalangan para pejabat maskapai dagang tersebut. Ia percaya bahwa isu rencana pemberontakan hanya bualan semata.Baginya tidaklah mungkin seorang Pieter yang terpelajar dan pintar berlaku sembrono dengan merencanakan kudeta tanpa persiapan dan serba mendadak.

 “Itu mungkin sekali, karena berbagai keadaan pada masa itu, orang tak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sengala rencana komplotan itu diperoleh dari hasil siksaan-siksaan,” ujar Prof.Godee dalam tulisan yang termuat dalam buku sejarah Geschiedenis van Nederlands Indie, jilid empat, himpunan Dr. F. W. Stapel itu.

 Menurut Kepala Kearsipan Negara di Hindia Belanda (1922-1937) itu, sekitar 3 minggu pasca komplotan Pieter diciduk, pemeriksaan intens dijalankan oleh Dewan Pejabat Tinggi Negara terhadap 23 orang. Termasuk Erberveld, Kartadriya dan Layeek, seorang lelaki asal Sumbawa yang merupakan terdakwa utama. Dalam pemeriksaan tersebut, ketiganya ngotot menyatakan diri tak merencanakan apapun.

 Landdrost (semacam jaksa) lantas mengambil jalan pintas untuk memunculkan pengakuan. Caranya Kartadriya digantungi timbangan. Anak timbangan pemberatnya terus menerus ditambah. Kemudian rambut kepalanya dipotong. Heeren Schepenen rupanya percaya, bahwa seperti halnya dengan perkara sihir, kekuatan seorang terdakwa untuk membisu terletak pada rambutnya. Semua usaha itu sia-sia sebab Kartadriya tetap bungkam.

 Lalu giliran Layeek. Begitu disiksa, orang Sumbawa itu lansung mengaku karena daya tahan fisik dan mentalnya tak setangguh Kartadriya. Menurut hasil “nyanyiannya” Pieter Erberveld memang telah membujuknya untuk menyusun rencana pemberontakan. Jika rencana itu berhasil, Pieter akan menjadi raja atau gubernur dan para pendukungnya akan mendapat ganjaran menurut partisipasi masing-masing dalam pemberontakan itu.

 Begitu pengakuan didapat, jaksa memerintahkan penyiksaan lebih sadis kepada Kartadriya dan Pieter. Usaha mereka tidak sia-sia, Pieter dan Kartadriya akhirnya mengaku salah karena tak tahan menghadapi siksaan yang makin kejam. Pieter mengiyakan bahwa dirinya dihasut oleh Kartadriya.

 Tidak hanya itu, Pieter pun mengungkapkan dokumen rencana komplotan itu disembunyikannya dalam sebuah peti yang tersimpan di lemari tua di rumahnya. Ia juga menyatakan telah mengadakan hubungan surat menyurat dengan putera Untung Suropati,pemberontak Bali di Kartasura. Dalam nada mengingau karena secara fisik dan mental sudah hancur lebur, Pieter menyebut sejumlah nama fiktif : 12 pangeran dari Banten serta 13 pangeran dan 3 orang raden dari Cirebon.

 ”Namun anehnya, kendati dicari secara teliti, tak sepucuk suratpun ditemukan dalam sebuah kotak di almari tua di rumah Pieter,”tulis Godee.

 Prof. Godee Molsbergen juga menyebut beberapa kenyataan yang tidak wajar dalam proses pengadilan itu. Menurutnya, perkara pengkhianatan yang tergolong criman leasae majestatis - kejahatan terhadap yang dipermuliakan- seharusnya diadili oleh Raad van Justitie, bukan oleh Collage van Heemraden.

 ”Untuk pelaksanaan hukuman mati pun tidak boleh di sembarang tempat, tetapi harus di tempat yang biasa di pakai oleh raad van Justitie. Dalam kasus Pieter Erberveld para terdakwa tidak diberi pembela. Harta milik para terdakwa tidak hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang dijatuhkan, tetapi seluruhnya,”ujar sejarawan ahli Hindia Belanda itu.

 Konspirasi politik semakin kentara, kala beberapa hari setelah pembantaian Pieter dan kawan-kawannya dilakukan. Reykert Heere, pejabat VOC yang merasa mendapat info pertama tentang "pengkhianatan" Erberveld, minta balas jasa. VOC sigap dengan menaikan pangkat Rykert dari seorang Komisaris menjadi Opperkoopman (pembeli tertingi).Gajinya pun naik jadi 100 gulden sebulan.

 Kini hampir 300 tahun, tugu peringatan tua itu masih berdiri kokoh. Tingginya sekitar 2 meter dengan warna putih pucat dimakan zaman. Tepat di puncak tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri angker menantang langit. Sebuah bentuk pemakluman atas hitamnya sejarah kemanusian di Batavia pada April 1722.

Sumber : Hendi Jo

Sabtu, 08 Juni 2013

JENDERAL BERPENAMPILAN JONGOS

Para jenderal lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang era 60-an dan 70-an pasti sangat mengenal Brigjen. Sahirdjan. Bekas Cudanco PETA itu tercatat sebagai instruktur paling lama mengajar di akademi militer (mulai dari namanya MA hingga AKABRI). Wajar, jika (saat itu) Letnan Kolonel Sahirdjan sangat akrab dengan para kadet (taruna). Saat berlangsung Perang Kemerdekaan, para kadet mengenal Sahirdjan sebagai sosok berpenampilan sederhana, humoris dan mahir menciptakan berbagai senjata darurat. Suatu hari saat para kadet terlibat dalam pelatihan militer semesta untuk rakyat Yogya, Sahirdjan berhasil membuat sejenis “senjata mutakhir” : senjata panah yang berujung detonator, suatu kombinasi persenjataan modern dengan tradisional. Dalam ideal pemikiran Sahirdjan, selain mudah dan efektif digunakan dalam perang gerilya, senjata ini pelurunya bisa ditembakan tanpa suara dan bila ujung panah berdetonatornya mengenai sasaran vital maka akan berakibat kematian sang musuh.


 Singkat cerita dicobalah senjata tersebut. Sebagai sasaran tembak adalah seekor kambing jantan, hasil sumbangan seorang penduduk. Di hadapan ratusan rakyat dan para kadet, Sahirdjan kemudian merentangkan busur. Semua penonton menahan nafas, saat anak panah tersebut melesat dari busur dan menghantam sang kambing…Dor! Kambing pun terkulai. Para penonton bersorak sorai seraya memberi tepuk tangan tiada henti. Sahirdjan tersenyum, para kadet tertawa bangga. Namun baru saja tepuk tangan riuh itu berhenti, tiba-tiba “kambing yang mampus” itu bangun kembali dan mengembik, siuman dari pingsannya. Spontan penonton kembali bertepuk tangan. Kali ini diiringi tawa lepas seolah tak henti. Sahirdjan sendiri sambil tersenyum menggaruk-garuk kepalanya walau tak gatal .

 Selain suka menelurkan ide-ide nyentrik, Sahirdjan pun dalam kehidupan sehari-hari sangat jauh dari kemewahan. Kendati sebagai instruktur senior di AKABRI, hal tersebut sebenarnya bisa saja ia wujudkan. Kata para jenderal dari AKABRI Angkatan 70-an yang pernah saya wawancara, kalau sudah buka seragam militer, Sahirdjan suka sekali memakai celana pendek dan kaos oblong yang lusuh. “Orang yang belum kenal beliau pasti menyangka beliau bukan seorang jenderal guru besar AKABRI,” kata seorang pejabat militer di Markas Besar Angkatan Darat yang beberapa tahun lalu saya temui.

 Soal kaos oblong dan celana pendek lusuh ini sempat membuat cerita heboh di kalangan taruna AKABRI pada era 70-an. Ceritanya, suatu hari seorang taruna AKABRI tingkat awal baru pulang dari cutinya dengan membawa oleh-oleh dan beberapa koper. Turun dari becak, sang taruna bingung harus mengangkat sendiri bawaannya tersebut. Dalam situasi demikian, tiba-tiba muncul seorang lelaki tua kurus berpakaian celana pendek dan kaos oblong lusuh tak jauh dari tempat sang taruna turun dari becak. Pucuk dicinta ulam tiba, taruna tersebut langsung berseru:

 “Eh Pak…Pak! Tolong ini angkatkan kopor saya!”perintahnya.

 Lelaki kurus dan berpenampulan lusuh yang dipanggil tersebut cepat-cepat mendekat dan dengan sigap membantu mengangkat kopor hingga ruangan sang taruna. Begitu selesai, sang taruna berinsiatif memberi persen, namun dengan halus dan penuh hormat lelaki tersebut menolaknya. Usai “sang jongos” itu pergi, tiba-tiba beberapa taruna senior berhamburan mendekati juniornya yang baru pulang cuti itu. Salah seorang menghardik:

 “Lu tau siapa orang yang lu suruh membawa koper itu?!”

 “Siap! Tidak tau!”

 “Tau lu, dia adalah Pak Sahirdjan, Brigadir Jenderal dan Guru Besar kita!” Lemaslah sang prajurit tersebut dalam sesal.

Sumber : Hendi Jo

Jumat, 07 Juni 2013

PENERJUN PASUKAN KHUSUS BELANDA JATUH DI PEMUKIMAN PENDUDUK YOGYAKARTA (1948)

Para penerjun payung dari DST (Depot Speciaale Troepen atau sejenis Kopassus-nya Belanda) mendarat di tengah pemukiman penduduk dekat Lapangan Maguwo, Yogyakarta dan langsung menguasai Yogyakarta dari tangan pasukan TNI pada 19 Desember 1948. 


Mereka yang diterbangkan sejak pukul 02.00 dari Lanud Andir Bandung, kemudian secara cepat menguasai ibu kota RI tersebut serta menawan para pemimpinnya termasuk Sukarno-Hatta. TNI sendiri tak pernah menyangka Belanda akan menyerang pada hari itu, Ketika melihat beberapa pesawat B-25 Mitchell, P-51 Mustang dan pesawat penyergap P-40 Kittyhawk melayang di udara Jogja, alih-alih menembakan meriam penangkis serangan udara, sebagian dari mereka malah melambai-lambaikan tangan karena mengira pesawat-pesawat tersebut milik AURI (memang pada hari itu ada pengumuman latihan gabungan dari semua matra di tubuh TNI). 

Begitu rentetan senjata membahana barulah mereka sadar Belanda menyerang dan mereka tak memiliki kesiapan untuk membalasnya, kecuali sekitar 30 prajurit pangkalan Maguwo dan sekelompok pasukan tentara dari KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi) yang secara berani sempat melakukan penghadangan dan penggangguan terhadap pasukan Kolonel Van Langen sebelum masuk ke Istana via Jalan Solo. Tapi Van Langen sebagai sinyo kelahiran Yogya yang lulusan Akademi Breda, cukup tahu bagaimana caranya menjepit pasukan bandel ini. Dia memecah pasukannya, salah satunya yang menerobos brikade TNIi via Kantor Pos. Pasukan inilah yang pada akhirnya berhasil menduduki Istana/Gedung Agung dengan lebih cepat dan menawan Soekarno-Hatta cs. 

Akibat serangan tiba-tiba itu, TNI kehilangan sekitar 40 prajuritnya, sedangkan korban dari pihak militer Belanda nol. Saat penerobosan dan penyerangan ke Istana itu, Van Langen sendiri yang memimpin pasukan tersebut langsung dari jeep wilys-nya. Sementara Jenderal Spoor mengikuti jalannya pertempuran via radio di pesawat komando. Konon, sebelum melakukan penyerangan yang dikenal sebagai Operasi Burung Gagak tersebut, Spoor yang kala itu mengenakan jaket kulit, kacamata hitam dan topi pet menyapa Kolonel Van Langen dengan salam dua jari yang mengisyaratkan simbol "victorie, tanda kemenangan.

Sumber : Hendi Jo


Kamis, 06 Juni 2013

SIAP-SIAP TAK KEMBALI


Seorang gerilyawan republik di wilayah Banyumas yang tertangkap (1948), tengah menunggu giliran diinterogasi oleh petugas IVG (Informatie voor Geheimen) IVG dikenal sebagai momok menakutkan bagi para gerilyawan republik yang tengah ada dalam tahanan militer Belanda. Para petugas dinas rahasia tentara Belanda ini merupakan tentara-tentara pilihan dari polisi militer (MP) Belanda. Mereka dikenal memiliki kecapakapan khusus di bidang psikologi dan teknik penyiksaan. Jarang ada gerilyawan republik yang kembali jika sudah diambil oleh IVG. Foto koleksi Museum Perang Leiden Belanda.

Sumber : Hendi Jo

UJUNG PETUALANGAN SEORANG KIRI

Akhir Oktober 1948, pemberontakan PKI Madiun berhasil digagalkan oleh tentara yang tetap setia kepada Sukarno-Hatta. Alih-alih mereorganisasi perlwanan , kekuatan komunis yang dipimpin oleh Musso itu malah kocar-kacir. Untuk menghindari pengejaran tentara pemerintah, Musso sendiri memutuskan menghilang. Dan untuk beberapa minggu upayanya itu berhasil: tentara pemerintah tak bisa mengendus keberadaan agen komunis internasional tersebut.


 Hingga tibalah pada 31 Oktober 1948. Para petugas keamanan Desa Balong mencurigai seorang lelaki priyayi dalam penampilan sederhana tengah berjalan seorang diri. Ketika dihentikan, awalnya lelaki tersebut sangat kooperatif. Ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kedua petugas tersebut dan memberikan selembar surat keterangan jalan. Namun ketika salah satu dari petugas itu merampas buntelan sarung yang ia bawa, tiba-tiba ia mengeluarkan sepucuk pistol dan langsung menembak sang perampas.

 Usai menembak, ia lantas kabur dengan sepeda ontel milik salah seorang petugas desa itu. Di tengah jalan, ia bertemu dengan sebuah dokar dan di bawah ancaman pistol, kusir dokar tersebut dipaksa untuk membawanya dalam kecepatan tinggi. Dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia VIII, A.H. Nasution menceritakan tentara setempat kemudian cepat berkoordinasi menanggapi kejadian di Desa Balong itu.

 Sementara itu di tengah perjalanan, dokar yang ditumpangi lelaki yang tak lain adalah Musso tersebut berpapasan dengan sebuah mobil yang ditumpangi oleh serombongan prajurit dari Batalion Sunandar. Begitu melihat mobil tersebut, dengan sigap, Musso meloncat dan langsung menodongkan senjatanya ke arah para penumpang.

 Kendati para prajurit itu bersenjara, todongan senjata Musso lebih cepat. Terpaksalah mereka menuruti perintah Musso untuk meninggalkan mobil tersebut. Musso sendiri dengan cepat langsung duduk di belakang kemudi. Namun dasar sial, ketika distater mobil itu tiba-tiba tak mau hidup. Melihat situasi tersebut salah satu dari prajurit itu lantas meraih sten di bagian belakang mobil dan langsung menodongkannya ke arah Musso.

 "Keluar dari mobil dan menyerahlah!" teriaknya.

 Musso dengan tenang keluar dari ruang kemudi. Dalam tatapan tajam bak singa siap bertarung, ia justru membalas teriakan sang prajurit dengan kata-kata yang pelan namun tegas: "Engkau tahu siapa saya?! Saya Musso!Engkau baru kemarin jadi prajurit dan sekarang berani-beraninya meminta saya untuk menyerah pada engkau?! Tidak! Saya tidak akan menyerah! Lebih baik mati daripada menyerah! Walau bagaimanapun saya tetap merah putih!"

 Menyaksikan sikap Musso yang sangat percaya diri dan berwibawa, para prajurit itu menjadi keder. Alih-alih memberondong tubuh Musso dengan sten, mereka justru melarikan diri menuju desa terdekat. Beberapa saat kemudian, perburuan pun dimulai. Musso yang melarikan diri ke sebuah kampung kemudian memilih sebuah kamar mandi untuk tempatnya bertahan sekaligus bersembunyi.

 Kapten Sumadi yang memimpin perburuan itu, lantas mengepung tempat tersebut dan meneriakan kata-kata agar Musso menyerahkan diri. Alih-alih menyerah, kata-kata Sumadi malah dijawab Musso dengan tembakan. Maka tanpa ampun para prajurit itu kemudian memberondong kamar mandi tersebut dan usai menghentikan tembakan beberapa menit kemudian, mereka menemukan tubuh sang pemimpin pemberontakan itu tengah terkapar dalam genangan darah. Musso kemudian diberitakan tewas. " Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo dan setelah dipertontonkan ke khalayak kemudian dibakar,"tulis Soe Hok Gie dalam skripsinya yang ia beri judul Simpang Kiri dari Sebuah Jalan:Kisah Pemberontakan Madiun September 1948.

Sumber : Hendi Jo

Selasa, 04 Juni 2013

PATROLI INGGRIS DAN LENCANA MERAH PUTIH

Akhir 1945 adalah masa-masa yang mencekam di Jakarta. Begitu Sekutu (terdiri dari serdadu Inggris, Australia dan Belanda) mendarat, Kaum Republiken (pendukung proklamasi) memilih untuk menyingkir ke luar kota, akibatnya sebagian Jakarta kosong dan hanya menyisakan para priyayi pro Belanda dan borjuis-borjuis kulit putih yang tinggal di kawasan elit Menteng. "Selain komunitas pro Belanda, Jakarta saat itu hanya terdiri dari kaum gerilyawan kota dan para bandit," ujar Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.


 Jika para gerilyawan kota memiliki aktivitas menyerang kedudukan serdadu-serdadu Sekutu dan berupaya merampas senjata-senjatanya, tidak begitu dengan para bandit. Hampir dipastikan mereka tiap malam beroperasi menggasak harta benda penduduk Jakarta yang mengungsi dan menggarong rumah-rumah di Menteng. Tak jarang juga terjadi praktek pemerkosaan dan pelecehan seks terhadap perempuan Indo dan kulit putih.

 Situasi tersebut mejadikan Jakarta mirip "kota liar dan tak bertuan" seperti dalam cerita koboy wild-wild west. Untuk mengantisipasi soal ini, Sekutu lantas menugaskan para tentaranya untuk memulihkan keamanan dengan cara melakukan patroli dan pemeriksaan rutin. Operasi pemulihan ini justru lebih banyak menciduk Kaum Republiken dibanding para bandit. Bahkan ada upaya dari pihak NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda bentukan Van Mook) menyamaratakan semua aksi orang bumiputera sebagai aksi-aksi kriminalitas.

 Ini adalah salah satu foto koleksi dari IWM, Inggris yang memperlihatkan sebuah patroli Sekutu dari unsur tentara Inggris tengah melakukan pemeriksaan rutin di wilayah Salemba."Kalau Inggris yang melakukan pemeriksaan tidak begitu khawatir kita, karena mereka melakukannya sopan dan tidak kasar. Beda dengan perlakuan dari serdadu-serdadu NICA yang terkenal kejam,"ujar Bustomi seorang mantan lasykar kepada saya beberapa waktu lalu.

 Soal perlakuan bengis ini memang bukan isapan jempol semata. Menurut Adam Malik, salah seorang pentolan pemuda Menteng Prapatan, para serdadu NICA selain kerap memukul dan menembak juga tak jarang menyiksa para pemuda di luar batas kewajaran. "Jika kadapatan ada pemuda yang memakai lencana merah putih, mereka akan memaksa sang pemuda tersebut menelan lencana tersebut. Tak peduli lencana itu terbuat dari kain atau kaleng..." tulis Adam Malik dalam Mengabdi Republik.

Sumber : Hendi Jo