Suatu hari di bulan November, saya pernah mengunjunginya. Di sebuah ruang kecil Gedung 8, Kampus UI saya terlibat perbincangan asyik dengannya, seorang perempuan sepuh yang dengan kegairahan luar biasa tak henti bicara sambil tangan tuanya sibuk membuka lembaran-lembaran sebuah buku. Begitu sampai di lembaran tengah, tangannya berhenti, lantas ia diam sejenak.
”Coba kamu lihat, nasib naskah-naskah tua kita...” ujarnya lirih, sembari menunjuk sebuah foto hitam putih kusam bergambar satu peti naskah tua yang berserakan dan rombeng dimakan rayap.
Bagi Prof. Dr. Achadiati Ikram, nilai naskah-naskah tua itu melebihi emas dan permata.Tapi tidak bagi sebagian besar masyarakat kita dan pemerintah Indonesia. Buktinya, hingga saat ini ribuan naskah kuno banyak yang terbengkalai di pelosok-pelosok kampung. Bahkan menurut kabar, banyak naskah tua kita yang "bermigrasi" ke luar negeri, tempat di mana naskah-naskah tua itu diperlakukan secara layak dan dipelajari isinya.
Saya ingat, dulu waktu di Bukittinggi ada seseorang pernah menyatakan kepada saya sebagai pemburu naskah tua. Ia bisa menjual hasil buruannya itu ke ilmuwan-ilmuwan luar negeri,"Kalau naskah tua berbahasa Melayu saya selalu senang menjualnya kepada orang Malaysia, mereka bisa bayar hingga 5 jutaan pernaskah,"ujarnya. seorang kawan saya di Tempo, pernah menyebut sekitar 40-an naskah tua (sebagian besar dari Riau dan Jambi) yang isinya berkisar tentang sejarah, pengobatan, tata negara, politik, agama, sastra kini tengah diteliti secara khusus oleh para ilmuwan Malaysia.
Jatuhnya naskah-naskah tua nan penting itu ke tangan "orang lain" sangat "ditangisi" oleh orang seperti oleh Prof. Achadiati. ”Tanpa naskah-naskah tua itu, bisa jadi kita akan kehilangan kebanggaan sebagai sebuah bangsa yang pernah berjaya,” kata Ketua Yayasan Naskah Nusantara (Yanasa) itu.
Achadiati bercerita, suatu hari ia bersua dengan seorang mantan mahasiswanya yang baru datang melanjutkan studi di Prancis. Sang mantan mahasiswa menyatakan betapa dirinya sangat sedih dan malu kala teman-teman Prancis-nya dengan bangga berkisah tentang sejarah bangsanya.
”Lantas kenapa kamu harus bersedih dan malu?” tanya Achdiati.
”Karena saya tidak mengetahui sejarah bangsa saya sendiri, seperti mereka mengetahui sejarah bangsanya,” jawabnya. Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengetahui dan bisa berkisah seperti mahasiswa-mahasiswa Prancis itu?
Pertama kali dan jalan awal supaya seperti itu, menurut Achadiati, tak lain adalah dengan membiasakan membaca. Dengan membaca, cakrawala pengetahuan terbentang di depan mata. ”Makanya, saya merasa heran dan prihatin, saat mendengar pernyataan seorang artis muda di televisi bahwa dirinya tidak suka membaca,” kata alumni Fakultas Sastra UI itu.
Achadiati wajar merasa heran. Secara pribadi, ia sangat paham ”nikmat” dan manfaatnya membaca. Bahkan, dari tradisi membaca itu pula, ia kini dikenal sebagai salah satu ilmuwan paling senior di Indonesia dalam bidang filologi. Itu adalah sebuah bentuk pendekatan ilmu yang meneliti sekaligus memerifikasi naskah-naskah lama.
Persinggungan Achadiati dengan dunia naskah tua, diawali dengan kecintaannya menyimak mata pelajaran sejarah dari seorang gurunya di SMA Panti Parahma Surakarta. Saat itu, sekitar akhir 1940-an, tahun-tahun kala revolusi kemerdekaan berkecamuk. Banyak mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang menyingkir ke Surakarta. Sambil bergerilya, banyak di antaranya nyambi menjadi guru di sekolah-sekolah Surakarta.
”Nah, guru sejarah saya itu adalah salah seorang dari mahasiswa-mahasiswa UGM tersebut,” kenang Achadiati.
Selesai SMA pada 1950, minat Achadiati terhadap sejarah semakin besar. Maka dipilihlah Fakultas Sastra UI sebagai tempat melanjutkan pendidikannya. Setelah 6 tahun mengenyam bangku kuliah, ia lulus sebagai sarjana sastra. Karier kerjanya kemudian diawali dengan menjadi dosen di almamaternya, hingga ia diangkat sebagai guru besar filologi di Fakultas Sastra UI pada 1978.
Kini, ia sudah menghasilkan 7 karya ilmiah yang beberapa di antaranya adalah terjemahan dari naskah-naskah tua di Indonesia. Semua naskah itu berbahasa daerah, seperti Aceh, Minangkabau, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Lombok, Ambon, Buton, Bugis dan Bima.
Menurut dia, di Indonesia naskah yang berhasil diterjemahkan baru sebagian kecil saja. Sisanya masih terserak dari Aceh hingga Sumbawa. ”Bisa jadi jumlahnya puluhan ribu,” ungkap penulis Hikayat Sri Rama, Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur itu.
Karena itu, wajar jika Achadiati mengharapkan munculnya generasi muda di dunia filologi Indonesia. Sebuah harapan yang ia sendiri kurang begitu yakin bisa terwujud secara cepat. Sebabnya jelas. Alih-alih menerjemahkan naskah, untuk membaca saja, anak-anak muda zaman sekarang tidak berusaha membiasakannya.
”Padahal, kalau mereka tahu, dari membaca naskah-naskah tua itu, betapa kayanya Indonesia dengan sejarah, arsitektur, pengobatan, karya sastra, tata negara dan ilmu-ilmu lainnya,” katanya.
Matahari November masih beringsut malu-malu di atas Kampus Universitas Indonesia, Depok. Cahayanya kadang hilang kadang muncul bersanding dengan suara burung yang bergemerisik di balik pepohonan. Di sebuah ruang kecil Gedung 8, seorang perempuan sepuh tengah asyik membuka lembaran-lembaran sebuah buku. Begitu sampai di lembaran tengah, tangannya berhenti, lantas ia berkata dalam nada riang:
”Tapi saya masih memiliki harapan kepada sebagian kecil anak-anak muda sekarang. Seperti dia itu,” ujar sang filologis sembari menunjuk seorang gadis muda yang tengah bergelut dengan buku-buku di ruangan tersebut. Ya ia seolah tengah menunjuk potret dirinya di masa lalu.
Sumber : Hendi Jo
0 komentar:
Posting Komentar