Para jenderal lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang era 60-an dan 70-an pasti sangat mengenal Brigjen. Sahirdjan. Bekas Cudanco PETA itu tercatat sebagai instruktur paling lama mengajar di akademi militer (mulai dari namanya MA hingga AKABRI). Wajar, jika (saat itu) Letnan Kolonel Sahirdjan sangat akrab dengan para kadet (taruna). Saat berlangsung Perang Kemerdekaan, para kadet mengenal Sahirdjan sebagai sosok berpenampilan sederhana, humoris dan mahir menciptakan berbagai senjata darurat. Suatu hari saat para kadet terlibat dalam pelatihan militer semesta untuk rakyat Yogya, Sahirdjan berhasil membuat sejenis “senjata mutakhir” : senjata panah yang berujung detonator, suatu kombinasi persenjataan modern dengan tradisional. Dalam ideal pemikiran Sahirdjan, selain mudah dan efektif digunakan dalam perang gerilya, senjata ini pelurunya bisa ditembakan tanpa suara dan bila ujung panah berdetonatornya mengenai sasaran vital maka akan berakibat kematian sang musuh.
Singkat cerita dicobalah senjata tersebut. Sebagai sasaran tembak adalah seekor kambing jantan, hasil sumbangan seorang penduduk. Di hadapan ratusan rakyat dan para kadet, Sahirdjan kemudian merentangkan busur. Semua penonton menahan nafas, saat anak panah tersebut melesat dari busur dan menghantam sang kambing…Dor! Kambing pun terkulai. Para penonton bersorak sorai seraya memberi tepuk tangan tiada henti. Sahirdjan tersenyum, para kadet tertawa bangga. Namun baru saja tepuk tangan riuh itu berhenti, tiba-tiba “kambing yang mampus” itu bangun kembali dan mengembik, siuman dari pingsannya. Spontan penonton kembali bertepuk tangan. Kali ini diiringi tawa lepas seolah tak henti. Sahirdjan sendiri sambil tersenyum menggaruk-garuk kepalanya walau tak gatal .
Selain suka menelurkan ide-ide nyentrik, Sahirdjan pun dalam kehidupan sehari-hari sangat jauh dari kemewahan. Kendati sebagai instruktur senior di AKABRI, hal tersebut sebenarnya bisa saja ia wujudkan. Kata para jenderal dari AKABRI Angkatan 70-an yang pernah saya wawancara, kalau sudah buka seragam militer, Sahirdjan suka sekali memakai celana pendek dan kaos oblong yang lusuh. “Orang yang belum kenal beliau pasti menyangka beliau bukan seorang jenderal guru besar AKABRI,” kata seorang pejabat militer di Markas Besar Angkatan Darat yang beberapa tahun lalu saya temui.
Soal kaos oblong dan celana pendek lusuh ini sempat membuat cerita heboh di kalangan taruna AKABRI pada era 70-an. Ceritanya, suatu hari seorang taruna AKABRI tingkat awal baru pulang dari cutinya dengan membawa oleh-oleh dan beberapa koper. Turun dari becak, sang taruna bingung harus mengangkat sendiri bawaannya tersebut. Dalam situasi demikian, tiba-tiba muncul seorang lelaki tua kurus berpakaian celana pendek dan kaos oblong lusuh tak jauh dari tempat sang taruna turun dari becak. Pucuk dicinta ulam tiba, taruna tersebut langsung berseru:
“Eh Pak…Pak! Tolong ini angkatkan kopor saya!”perintahnya.
Lelaki kurus dan berpenampulan lusuh yang dipanggil tersebut cepat-cepat mendekat dan dengan sigap membantu mengangkat kopor hingga ruangan sang taruna. Begitu selesai, sang taruna berinsiatif memberi persen, namun dengan halus dan penuh hormat lelaki tersebut menolaknya. Usai “sang jongos” itu pergi, tiba-tiba beberapa taruna senior berhamburan mendekati juniornya yang baru pulang cuti itu. Salah seorang menghardik:
“Lu tau siapa orang yang lu suruh membawa koper itu?!”
“Siap! Tidak tau!”
“Tau lu, dia adalah Pak Sahirdjan, Brigadir Jenderal dan Guru Besar kita!” Lemaslah sang prajurit tersebut dalam sesal.
Sumber : Hendi Jo
0 komentar:
Posting Komentar