Akhir Oktober 1948, pemberontakan PKI Madiun berhasil digagalkan oleh tentara yang tetap setia kepada Sukarno-Hatta. Alih-alih mereorganisasi perlwanan , kekuatan komunis yang dipimpin oleh Musso itu malah kocar-kacir. Untuk menghindari pengejaran tentara pemerintah, Musso sendiri memutuskan menghilang. Dan untuk beberapa minggu upayanya itu berhasil: tentara pemerintah tak bisa mengendus keberadaan agen komunis internasional tersebut.
Hingga tibalah pada 31 Oktober 1948. Para petugas keamanan Desa Balong mencurigai seorang lelaki priyayi dalam penampilan sederhana tengah berjalan seorang diri. Ketika dihentikan, awalnya lelaki tersebut sangat kooperatif. Ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kedua petugas tersebut dan memberikan selembar surat keterangan jalan. Namun ketika salah satu dari petugas itu merampas buntelan sarung yang ia bawa, tiba-tiba ia mengeluarkan sepucuk pistol dan langsung menembak sang perampas.
Usai menembak, ia lantas kabur dengan sepeda ontel milik salah seorang petugas desa itu. Di tengah jalan, ia bertemu dengan sebuah dokar dan di bawah ancaman pistol, kusir dokar tersebut dipaksa untuk membawanya dalam kecepatan tinggi. Dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia VIII, A.H. Nasution menceritakan tentara setempat kemudian cepat berkoordinasi menanggapi kejadian di Desa Balong itu.
Sementara itu di tengah perjalanan, dokar yang ditumpangi lelaki yang tak lain adalah Musso tersebut berpapasan dengan sebuah mobil yang ditumpangi oleh serombongan prajurit dari Batalion Sunandar. Begitu melihat mobil tersebut, dengan sigap, Musso meloncat dan langsung menodongkan senjatanya ke arah para penumpang.
Kendati para prajurit itu bersenjara, todongan senjata Musso lebih cepat. Terpaksalah mereka menuruti perintah Musso untuk meninggalkan mobil tersebut. Musso sendiri dengan cepat langsung duduk di belakang kemudi. Namun dasar sial, ketika distater mobil itu tiba-tiba tak mau hidup. Melihat situasi tersebut salah satu dari prajurit itu lantas meraih sten di bagian belakang mobil dan langsung menodongkannya ke arah Musso.
"Keluar dari mobil dan menyerahlah!" teriaknya.
Musso dengan tenang keluar dari ruang kemudi. Dalam tatapan tajam bak singa siap bertarung, ia justru membalas teriakan sang prajurit dengan kata-kata yang pelan namun tegas: "Engkau tahu siapa saya?! Saya Musso!Engkau baru kemarin jadi prajurit dan sekarang berani-beraninya meminta saya untuk menyerah pada engkau?! Tidak! Saya tidak akan menyerah! Lebih baik mati daripada menyerah! Walau bagaimanapun saya tetap merah putih!"
Menyaksikan sikap Musso yang sangat percaya diri dan berwibawa, para prajurit itu menjadi keder. Alih-alih memberondong tubuh Musso dengan sten, mereka justru melarikan diri menuju desa terdekat. Beberapa saat kemudian, perburuan pun dimulai. Musso yang melarikan diri ke sebuah kampung kemudian memilih sebuah kamar mandi untuk tempatnya bertahan sekaligus bersembunyi.
Kapten Sumadi yang memimpin perburuan itu, lantas mengepung tempat tersebut dan meneriakan kata-kata agar Musso menyerahkan diri. Alih-alih menyerah, kata-kata Sumadi malah dijawab Musso dengan tembakan. Maka tanpa ampun para prajurit itu kemudian memberondong kamar mandi tersebut dan usai menghentikan tembakan beberapa menit kemudian, mereka menemukan tubuh sang pemimpin pemberontakan itu tengah terkapar dalam genangan darah. Musso kemudian diberitakan tewas. " Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo dan setelah dipertontonkan ke khalayak kemudian dibakar,"tulis Soe Hok Gie dalam skripsinya yang ia beri judul Simpang Kiri dari Sebuah Jalan:Kisah Pemberontakan Madiun September 1948.
Sumber : Hendi Jo
0 komentar:
Posting Komentar