Engkong Thalib (65) bercerita dalam nada bangga. Sambil menunjuk reruntuhan gedung tua di pertigaan Condet, Jakarta Timur ia mengisahkan tentang sebuah perlawanan lama. Ya, lebih kurang 91 tahun lalu, di tempat yang dikenal sebagai Villa Nova itu, para petani Betawi menyabotase sebuah pesta yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Peristiwa itulah yang 4 hari kemudian memantik adu nyawa para petani pimpinan Haji Entong Gendut dengan para serdadu marsose Belanda dan centeng-centengnya di Batu Ampar.
Laki-laki dengan 10 cucu itu bercerita, dari generasi ke generasi kisah perlawanan itu terus dipelihara. Biasanya cerita tersebut disampaikan oleh para engkong sebagai bukti,”Kite orang Betawi tidak bisa begitu aje diinjak-injak ame kumpeni,”ujar penduduk asli Kampung Gedong itu.
Thalib memang tidak sekadar mendongeng. Sartono Kartodirjo dalam Protest Movements in Rural Java menyatakan pemberontakan Condet memang tercatat dalam dokumentasi pemerintah Hindia Belanda. Cerita bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi pada sekitar Februari 1916.
Saat itu, Lady Lollinson-- seorang tuan tanah berkebangsaan Inggris—menang perkara atas seorang petani tua bernama Pak Taba. Selanjutnya, landrad (pengadilan) Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) memutuskan untuk menyita seluruh hak milik Pak Taba.
Eksekusi pun dilakukan secara cepat dan terbuka. Secara paksa, para petugas pengadilan menyita seluruh harta Pak Taba, termasuk sebidang tanah di Kebon Jaimin sebelah utara. Maka sejak itu, jadilah Pak Taba dan keluarganya jatuh miskin.
Penduduk Condet banyak bersimpati sekaligus marah atas nasib yang menimpa Pak Taba. Tak terkecuali, tokoh kharismatik mereka yang bernama Haji Entong Gendut.”Dia merasa gerah, karena cerita kumpeni menggusur tanah orang Betawi sudah terjadi ratusan kali,”tutur Thalib.
Willard Hanna –sejarawan Indonesia asal Amerika Serikat--menyebut penyitaan oleh pemerintah Hindia Belanda sangat lazim pada tahun 1900-an. Itu terjadi karena rakyat kebanyakan tidak sanggup membayar blasting (pajak tanah) yang diterapkan. “Jumlahnya memang fantastis, hingga wajar dari blasting ini bisa menutupi 30% kebutuhan negeri Belanda,”tulis Hanna dalam Hikayat Jakarta.
Karena tidak tahan, melihat penderitaan rakyatnya,Haji Entong kemudian bermusayawarah dengan tokoh-tokoh Condet lainnya seperti Haji Amat Wahab dan Haji Maliki. Keputusan pun lahir: mereka harus melawan.
Maka pada 5 April 1916, sekitar jam 11 malam, ketiga haji itu memimpin 30 pemuda bergerak ke arah kediaman Lady Lollinson di Vila Nova.Dengan gagah berani, mereka menghentikan pesta Tari Topeng yang menyertakan juga kegiatan judi dan pelacuran.Saat ditanya oleh Mantri Polisi alasan penghentian itu, Haji Entong menjawab,”Demi agama!”
Penghentian itu ditafsirkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai sebuah bentuk pembangkangan. Empat hari kemudian, menjelang ashar ratusan orang yang terdiri dari serdadu marsose, centeng-centeng tuan tanah dan para upas mengepung rumah Haji Entong di Batu Ampar.
“Keluar kau, Entong!”teriak Wedana Pasar Rebo yang memimpin rombongan para pengepung itu
"Gue bakalan keluar setelah sembahyang barang sebentar!" sahut Haji Entong dari dalam rumah.
Detik demi detik berlalu. Dengan tegang para pengepung menunggu Haji Entong keluar. Bada ashar (sekitar jam 4 sore), Haji Entong pun keluar. Bersamaan keluarnya dia, dari semak-semak bermunculan puluhan jagoan Condet. Pertempuran pun berjalan secara tidak seimbang. Dentingan golok dan tombak terdengar nyaring bersanding dengan suara tembakan dari senapan para serdadu marsose.
Haji Entong sendiri bertempur bak harimau lapar. Dengan sebilah golok, dan tombak berbendera merah dihiasi bulan sabit putih, dia mengamuk. Dari mulutnya, tak henti-henti terdengar takbir,” Allahu Akbar! Sabilillah…Gue kagak takut ame kompeni!”teriaknya.
Menjelang magrib,puputan di Batu Ampar itu berakhir. Tanah Batu Ampar yang berwarna merah semakin merah karena darah. Di bawah pohon duku dan rimbunan pohon salak, puluhan mayat bergelimpangan. Termasuk mayat beberapa pemuda Condet dan para haji Betawi yang ikut bertempur.
Mayat Haji Entong sendiri tak pernah jelas keberadaannya. Ada tiga versi cerita rakyat Condet berkaitan dengan hal ini. Pertama, mayatnya dibawa hanyut arus Sungai Ciliwung saat dia terdesak ke arah sungai itu lalu tertembak mati.
Versi kedua, mayat Haji Entong diangkut Belanda lalu dimakamkan di sebuah tempat di Bogor. Versi yang tarakhir malah sangat tragis, mayat Haji Entong diceburkan oleh Belanda ke Laut Jawa.
Versi mana yang betul, tidak ada seorang pun yang berani menjaminnya. Namun yang jelas,sejarah mencatat upaya itu menjadi sebuah pemberontakan besar terakhir kaum tani di Betawi terhadap Belanda.Memang setelah kejadian tersebut, ada muncul sosok-sosok haji pemberontak lainnya.Namun mereka hanya sebatas "palang dade" saja. Seperti misalnya di Tanah Abang , ada sosok Haji Sabeni atau di Kemayoran, terkenal pula nama Haji Ung. Mereka dikenal sebagai palang dade atau pembela masyarakat setempat jika rakyat memiliki masalah dengan Belanda dan kroni-kroninya.
Bisa jadi karena sikap patriotik para haji saat itu, banyak nama jalan di Jakarta kemudian menggunakan nama mereka. Sebuah simbol kebanggaan rakyat Betawi akan leluhur mereka yang pahlawan. Laiknya kebanggaan Engkong Thalib.
Sumber : Hendi Jo
0 komentar:
Posting Komentar