Pages

Senin, 27 Mei 2013

HUKUMAN TEMPO DOELOE

Bernard Dorleans pernah melukiskan peri keadaan Kesultanan Aceh pada tahun 1800-an. Doktor sejarah dari Universitas Sorbone Paris itu menyebut begitu banyaknya para pengemis cacat memenuhi jalanan di Koetaradja (sekarang Banda Aceh). Rata-rata mereka tak memiliki kaki atau tangan. “Ini merupakan konsekwensi logis dari hukuman qisas yang diberlakukan sultan Aceh kepada rakyatnya,”tulis Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI Sampai dengan Abad XX.

 Qisas adalah sistem hukum Islam yang konon pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya zaman dulu di jazirah Arab. Jenis hukum ini didasarkan pada “gigi bayar gigi, mata bayar mata”, kecuali pihak korban bermurah hati memaafkan sang pelaku. Bisanya pemberian maaf pun tidak gratis, harus ditebus dengan dinar dan dirham.

 Sebagai kesultanan Islam, Aceh mengadopsi sistem hukum tersebut. Selain pembunuhan, jenis kejahatan yang dibenci dan akan menuai badai adalah perzinahan. Seorang perempuan bersuami yang ketahuan berzina akan diberikan beberapa alternatif jenis hukuman mati oleh Sultan. Bentuknya tinggal pilih: dilempar lembing atau kepala ditumbuk di dalam lesung (sroh).

 Hukuman berat tidak hanya berlaku di wilayah yang memeluk keyakinan Islam. Menurut Prof.J.E Sahetapy, di Bali bahkan pembunuhan berencana (walad pati), diganjar dengan hukuman tusukan keris ke dada hingga mati. Tak jarang, dalam prakteknya, sang pelaku tidak cukup ditusuk sekali, namun berkali-kali. Bahkan untuk mempercepat nyawa enyah dari badan, para algojo mengingjak-nginjak badan si terhukum yang sudah rubuh tak berdaya tersebut. Tujuannya, supaya darah cepat dan banyak keluar. “Ironisnya semua itu dilakukan di depan para terhukum lainnya yang juga tengah menunggu giliran,”ujar ahli hokum Indonesia kenamaan tersebut dalam Ancaman Hukuman Mati dalam Pembunuhan Berencana

 Tidak kalah seram, dengan Aceh dan Bali, di pedalaman Toraja, pelaku inses dipersilakan mengambil dua opsi hukuman: dicekik sampai mati atau dimasukkan ke dalam rotan yang diberi batu pemberat lalu dilempar ke laut.

 Sadisnya jenis hukuman lokal tersebut berkelindan dengan bentuk hukuman yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Dalam beberapa literature sejarah, tak sedikit orang pribumi dan orang Belanda sendiri yang pernah merasakan dihukum dengan cara disalib, dicincang,dipenggal, dirobek tubuhnya dengan empat kuda yang dihela ke empat penjuru arah mata angin dan lain-lain.


 Pada 1808, Gubernur Jenderal Daendels yang dikenal kejam itu mengintrodusir jenis hukuman mati ala Eropa, yaitu dibakar hidup-hidup dengan tubuh diikat di tiang. Melalui sebuah plakat tertanggal 22 April 1808, Daendels juga mengakomodasi sebuah tata cara hukuman mati lokal, yaitu dieksekusi dengan keris atau sangkur. 

 Namun jenis hukuman paling mengerikan adalah yang diberlakukan Kesultanan Mataram. Ada dua opsi yang harus dipilih seorang terkena vonis hukuman mati: diadu dengan harimau jawa atau lewat picis. Serat Sekar Setaman, buku koleksi Museum Sanapustaka, Keraton Surakarta, menyebut picis sebagai bentuk hukuman yang membuat terhukum mengalami siksaan rasa pedih yang terkira. Jenis hukuman ini, konon sudah diberlakukan oleh orang-orang Majapahit. 


 Orang yang terkena picis akan digiring ramai-ramai ke alun-alun kota oleh para algojo. Di depan ribuan pasang mata, sang pesakitan diikat di tonggak kayu atau pohon. Lalu tubuhnya disayat-sayat dengan pisau, dan lukanya diolesi air garam serta asam. Begitu seterusnya, sampai ia menemui ajalnya. Bayangkan betapa pedihnya. Terhukum akan berada dalam situasi di mana mati terasa lebih “melegakan” ketimbang hidup. 

 Akhirnya, atas usul Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816), hukum picis bersama hukuman yang mempraktekan aksi potong-memotong anggota tubuh lainnya, dihapus oleh Sri Sultan Paku Buwono IVpada tahun 1811. (hendijo)

 Foto di atas adalah proses eksekusi hukuman gantung oleh Pemerintah Hindia Belanda pada era tahun 1900-an terhadap penjahat pribumi. Lokasi di depan balai kota Batavia (Stadhuis, sekarang Museum Fatahillah).


Sumber :
Terima kasih untuk kak Randu dan Kak Hendi Jo.
Tulisannya sangat menarik kak.
Terus apdet ya kak


0 komentar:

Posting Komentar