Pages

Jumat, 31 Mei 2013

POLITIK MESUM DI ERA ORLA

Ribut-ribut soal gratifikasi seks dan skandal mesum yang tengah disangkakan kepada sejumlah elit partai politik hari ini, saya jadi ingat sebuah kisah yang dituliskan Soe Hok Gie dalam surat kabar Indonesia Raya pada akhir tahun 1960-an. Ceritanya, pada suatu hari saat ia mengunjungi Amerik Serikat ia bertemu sejumlah mahasiswa Indonesia yang tengah menimba ilmu di sana.


 Usai berdiskusi mengenai situasi-situasi politik tanah air pasca G30S, tiba-tiba salah seorang dari mereka nyeletuk kepada aktivis 66 yang memiliki pola piker idealis tersebut: “Soe, kamu mau naik “kuda putih”?

 Ditanya demikian Soe kaget dan balik bertanya, “Maksudnya? Apa itu “kuda putih”? Alih-alih segera menjawab, kawan Soe Hok Gie itu malah tergelak. Setelah reda tawanya, ia lantas menerangkan bahwa pejabat-pejabat Indonesia kalau datang ke AS kerap meminta para mahasiswa untuk menyediakan perempuan-perempuan kulit putih yang bekerja sebagai PSK. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk “menikmatinya”. “Mereka bilang, mumpung di AS,”ungkap sang mahasiswa tersebut.


 Soal pejabat-pejabat Indonesia yang mata keranjang dan berhidung belang (soal istilah-istilah “biru” ini, saya pernah menuliskan hikayatnya di sebuah tulisan beberapa waktu lalu) memang bukan rahasia lagi di kalangan para diplomat asing dan orang-orang Indonesia yang bekerja di Kedubes luar negeri saat itu.

 Ladislav Bittmann, seorang anggota telik sandi Dinas Rahasia Chekoslovakia yang bertugas pada 1950-an, pernah mengungkap soal ini di sebuah bukunya berjudul The Deception Game. Ia menyebut tentang beberapa diplomat Indonesia yang sangat rakus akan seks dan kerjaannya “memesan perempuan”. Coba simak tulisan dia yang mengisahkan perbincangan Mayor Louda, seorang petugas intelejen Departemen D Dinas Rahasia Chekoslovakia, dengan Duta Besar RI di Praha pada sekitar awal 1960-an.

 “Adakah sesuatu yang dapat saya bantu, Yang Mulia Duta Besar?” tanya Mayor Louda

 “Ya kebetulan saja ada, “kata sang Dubes.” Saya memerlukan apartemen yang lebih besar untuk pesta-pesta pribadi saya; apartemen saya yang sekarang terlalu kecil. Dan penghuni-penghuni lain terlalu banyak menaruh perhatian terhadap saya.”

 “Oh ya, saya maklum,”jawab Mayor Louda. “Tetapi anda harus sedikit bersabar. Saya yakin anda pun mengetahui betapa susahnya mendapat tempat yang cocok untuk anda. Kami akan berusaha, tapi anda harus bersabar.”



 “Ada satu lagi permintaan saya,”lanjut sang Dubes.” Dapatkah anda memperkenalkan saya dengan wanita lain? Yang terakhir anda sodorkan kepada saya, terlalu banyak permintaannya, selalu meminta uang maksud saya.”

 “Oh tentu saja, Yang Mulia Duta Besar. Itu soal kecil. Bagaimana kalau tiga minggu lagi?”tanya Louda

 “”Bagus, saya setuju,”jawab sang Duta Besar yang sengaja saya tidak sebut namanya di sini (saya menghargai anak cucunya yang mungkin membaca tulisan ini)

 Contoh di atas baru diambil dari 2 kasus saja. Buka hal yang mustahil, jika ditelisik lebih mendalam soal ini jumlahnya ratusan bahkan mungkin ribuan. Di dalam negeri sendiri soal pejabat-pejabat korup yang kerjanya “berkenalan” dengan selebritis papan atas saat itu marak terjadi. Sebut saja salah satunya adalah Jusuf Muda Dalam, Gubernur Bank Indonesia sekaligus loyalis Bung Karno yang diduga memiliki hubungan istimewa dengan sejumlah artis dan sosialita tahun 60-an seperti Baby Huwae, Gaby Mambo dan Nurbaini .

 Pada 9 September 1966, pengadilan pada akhirnya memvonis mati Jusuf Muda Dalam karena dinilai terbukti melakukan kejahatan subversive, memiliki senjata tanpa izin, tindak pidana korupsi dan pernikahan yang dilarang undang-undang. Sebulan sebelum vonis ini jatuh, dalam sebuah ulasannya pada 30 Agustus 1966, harian Api Pantjasila menuliskan: "…kita tidak akan mengungkit-ungkit bagaimana seremnya dia main wanita yang amoral itu, tetapi kejadian tokoh Jusuf Muda Dalam itu telah memberikan pelajaran bagi kita, bahwa tiap-tiap tokoh yang pegang tampuk pimpinan negara apa lagi yang pegang posisi penting, misalnya keuangan, bila punya perbuatan asusila dan amoral tidak akan sukses dalam pekerjaannya. Bahkan akan membawakan bencana bagi tugas-tugas yang dipikulkan negara kepadanya.."

 Banyak kalangan yang menyebut sejatinya tulisan tersebut ditujukan kepada pribadi Bung Karno. Jauh sebelum kejadian Jusuf Muda Dalam, Indonesia dikejutkan masalah skandal Bung Karno dengan 2 gadis Jepang. Menurut Anusapati yang menukil pernyataan seorang penulis Jepang bernama Masashi Nishihara, empat tahun sebelum menikahi Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi, Si Bung sebetulnya pernah menjalin cerita cinta dengan seorang gadis Jepang yang lain. Namanya Sakiko Tanase. “Ia adalah seorang model fesyen,”tulis Nishihara dalam Pers, Sukarno, Ratna Sari Dewi dan Pampasan Perang.

 Perjumpaan pertama kali Bung Karno dengan Sakiko terjadi di Kyoto. Begitu berkenalan, nampak sekali Si Bung sudah merasa tertarik dengan sang geisha. Sinyal cinta sang presiden rupanya ditangkap secara manis oleh Kinoshita, sebuah perusahaan Jepang yang memiliki kepentingan menanamkan investasi di Indonesia saat itu. Lantas, jadilah Sakiko ‘dibawa’ oleh Grup Kinoshita sebagai bagian dari lobi bisnis tingkat tinggi di Indonesia.

 Ternyata Sukarno memang benar-benar jatuh cinta kepada Sakiko. Dan pada suatu hari di penghujung 1958, didatangkanlah Sakiko ke Indonesia, sebagai “pengajar anak-anak ekspatriat Jepang” di Jakarta dan ditempatkan di kawasan elit Menteng. Namun aslinya, menurut Nishimura, Sakiko sebenarnya dijadikan sebagai salah satu nyonya rumah bagi Sukarno. Lengkap dengan nama Indonesianya: Ny.Basuki.

 Entah bagaimana, hubungan SS (Sukarno-Sakiko), tak berlangsung lama. Diperkirakan itu terjadi karena setahun kemudian, saat mengunjungi Jepang untuk kesekian kali, Sukarno jatuh cinta kembali kepada seorang perempuan Jepang berusia 19 tahun yang tentunya jauh lebih cantik. Dialah Naoko Nemoto, seorang geisha yang menjadi andalan lobi tingkat tinggi Grup Tonichi untuk memuluskan jalur bisnis di Indonesia.

 Sekembali dari Jepang, Sukarno mengundang Naoko Nemoto untuk berlibur ke Indonesia. Tahun 1959, tepatnya di hari keempat belas dalam bulan September, Naoko dengan suka cita datang ke Indonesia. Menurut penulis CM Chow, Naoko datang tidak sendiri, ia didampingi oleh dua geisha cantik lainnya. “Mereka ditempatkan di dalam rumah yang disediakan secara khusus oleh perusahaan Tonichi di Jakarta, “tulis CM Chow dalam Autobiography as told to Atoh Matsuda (1981).

 Lalu bagaimana nasib Sakiko setela dicuekan oleh Sukarno? Entah merasa dirinya “terbuang” atau mungkin ada masalah lain, diberitakan dua minggu usai kunjungan cinta Naoko itu, Sakiko Tanase memilih mengakhiri hidupnya dengan cara memutus urat nadi di sebuah rumah mewah yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Demi mendengar kabar menyedihkan itu, Soekarno katanya sempat shock dan berurai air mata. Jadi gratifikasi seks dan skandal mesum, bukan cerita baru dalam jagad perpolitikan. Keterangan foto: Gaby Mambo, Jusuf Muda Dalam, Baby Huwae dan Leimena dalam sebuah perhelatan yang diadakan pada sekitar pertengahan 1960-an.

Sumber : Hendi Jo


0 komentar:

Posting Komentar